Kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa kita sering sekali sulit mengendalikan FOMO—fear of missing out. Rasanya selalu ingin ikut tren, ingin mencoba yang terbaru, ingin terlihat update. Seolah kalau tidak ikut, kita ketinggalan kereta, dianggap “nggak gaul”, atau malah takut dipandang sebelah mata.
Aku perhatikan, banyak juga yang akhirnya mengejar validasi orang lain. Berlomba-lomba menjadi si paling branded, si paling ngerti, si paling update. Kita membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat punya. Kita ikut obrolan bukan karena paham, tapi karena takut dianggap asing. Kadang, semua itu bukan tentang diri kita, melainkan tentang bagaimana orang lain melihat kita.
Padahal kalau dipikir, sampai kapan kita bisa memenuhi standar orang lain? Bukankah selalu ada yang lebih branded, lebih pintar, lebih kaya, lebih segalanya? Mengejar validasi orang lain itu seperti berlari di treadmill: capek, tapi tidak pernah benar-benar sampai ke mana-mana.
Aku belajar bahwa mengendalikan FOMO butuh keberanian untuk berkata, “cukup.” Berani berhenti ketika hati sudah tahu bahwa itu bukan kebutuhan, hanya keinginan untuk dipuji. Berani memilih jalan yang tidak selalu ramai, asal sesuai dengan nilai dan kemampuan diri.
Ada ketenangan tersendiri ketika kita mulai hidup apa adanya. Saat tidak lagi berlomba menjadi si paling ini atau si paling itu, melainkan cukup menjadi diri sendiri. Karena pada akhirnya, yang paling tahu tentang kita bukan orang lain, tapi diri kita sendiri. Dan yang paling berhak menilai kita bukan manusia, tapi Allah.
Jadi, mungkin yang lebih penting bukan bagaimana dunia memandang kita, tapi bagaimana kita memandang diri kita sendiri.
0 komentar: