FOMO

 Kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa kita sering sekali sulit mengendalikan FOMO—fear of missing out. Rasanya selalu ingin ikut tren, ingin mencoba yang terbaru, ingin terlihat update. Seolah kalau tidak ikut, kita ketinggalan kereta, dianggap “nggak gaul”, atau malah takut dipandang sebelah mata.

Aku perhatikan, banyak juga yang akhirnya mengejar validasi orang lain. Berlomba-lomba menjadi si paling branded, si paling ngerti, si paling update. Kita membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat punya. Kita ikut obrolan bukan karena paham, tapi karena takut dianggap asing. Kadang, semua itu bukan tentang diri kita, melainkan tentang bagaimana orang lain melihat kita.

Padahal kalau dipikir, sampai kapan kita bisa memenuhi standar orang lain? Bukankah selalu ada yang lebih branded, lebih pintar, lebih kaya, lebih segalanya? Mengejar validasi orang lain itu seperti berlari di treadmill: capek, tapi tidak pernah benar-benar sampai ke mana-mana.

Aku belajar bahwa mengendalikan FOMO butuh keberanian untuk berkata, “cukup.” Berani berhenti ketika hati sudah tahu bahwa itu bukan kebutuhan, hanya keinginan untuk dipuji. Berani memilih jalan yang tidak selalu ramai, asal sesuai dengan nilai dan kemampuan diri.

Ada ketenangan tersendiri ketika kita mulai hidup apa adanya. Saat tidak lagi berlomba menjadi si paling ini atau si paling itu, melainkan cukup menjadi diri sendiri. Karena pada akhirnya, yang paling tahu tentang kita bukan orang lain, tapi diri kita sendiri. Dan yang paling berhak menilai kita bukan manusia, tapi Allah.

Jadi, mungkin yang lebih penting bukan bagaimana dunia memandang kita, tapi bagaimana kita memandang diri kita sendiri.

0 komentar:

Rindu ke Baitullah

 Ada rasa sesal yang sampai sekarang masih terasa. Waktu itu aku berangkat umroh bersama mama. Aku ingin sekali bisa mendoakan yang terbaik untuk papa, bahkan mengumrohkan beliau. Tapi ternyata, fisikku tidak cukup kuat. Aku tidak menjaga kesehatan sebelum berangkat, tidak disiplin berolahraga, dan akhirnya tubuhku melemah saat di tanah suci. Rasanya perih sekali. Aku merasa gagal, merasa tidak maksimal menjalani ibadah yang sebenarnya sangat aku rindukan.

Di antara rasa sesal itu, aku belajar sesuatu. Bahwa ibadah bukan hanya soal niat, tapi juga kesiapan jasmani. Bahwa menjaga tubuh adalah bagian dari amanah Allah. Aku baru sadar, seandainya sejak awal aku merawat kesehatan lebih serius, mungkin aku bisa lebih tenang, lebih kuat, dan bisa memberikan yang terbaik.

Namun aku tahu, Allah Maha Tahu isi hati hamba-Nya. Meski aku tidak bisa mengumrohkan papa waktu itu, aku tetap menggantungkan doa, menitipkan rindu, memohon agar pahala umroh yang sederhana itu Allah catatkan juga untuknya. Dan aku terus berdoa, semoga suatu hari nanti aku diundang kembali ke Baitullah. Kali ini dengan tubuh yang lebih siap, hati yang lebih ikhlas, dan langkah yang lebih kuat.

Kadang hidup memang memberi kita penyesalan, tapi penyesalan itu bisa jadi cambuk untuk memperbaiki diri. Aku ingin belajar dari pengalaman itu—bahwa menjaga kesehatan bukan sekadar rutinitas, tapi bekal agar ketika Allah memanggil lagi, aku siap sepenuhnya.

0 komentar:

Minimalism dan Qona’ah: Antara Ruang di Lemari dan Ruang di Hati

 Belakangan ini aku sering melihat orang membicarakan soal minimalism. Banyak konten di YouTube, Instagram, bahkan buku-buku best seller yang mengangkat tema ini. Katanya, hidup minimalis itu adalah seni memilah, membuang yang tidak penting, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar memberi makna. Tidak berlebihan, tidak menumpuk barang, tidak hidup dalam kejaran gaya hidup konsumtif.

Aku setuju, ada nilai yang baik dalam paham minimalism. Ia mengajarkan kita untuk sadar bahwa kebahagiaan tidak datang dari banyaknya barang yang kita miliki. Bahwa rumah yang penuh barang belum tentu membawa ketenangan, kadang justru membuat sesak. Bahwa hidup sederhana bisa memberi ruang lebih lega untuk bernapas.

Tapi di sisi lain, aku juga merenung. Bukankah sejak lama Islam sudah mengajarkan hal yang mirip, bahkan lebih dalam maknanya? Itulah yang disebut qona’ah. Bedanya, kalau minimalism di Barat sering lahir dari kejenuhan pada konsumerisme, qona’ah justru lahir dari rasa syukur.

Qona’ah bukan sekadar membatasi diri dari membeli barang atau mengurangi gaya hidup. Qona’ah adalah sikap hati: merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Kalau rezeki yang datang sedikit, kita tetap syukuri. Kalau banyak, kita kelola dengan bijak dan berbagi. Ada dimensi spiritual yang lebih menenangkan. Karena pada akhirnya, bukan sekadar soal jumlah barang atau seberapa “rapi” hidup kita, tapi seberapa ikhlas hati menerima takdir Allah.

Aku jadi ingat, ada momen ketika aku ingin sekali membeli gadget terbaru. Di timeline, iklannya muncul terus. Di sekelilingku, banyak teman yang sudah menggunakannya. Rasanya ada dorongan kuat untuk ikut membeli. Tapi kemudian aku bertanya pada diriku: “Apakah aku benar-benar butuh? Apakah yang ada sekarang tidak cukup?” Dari situ aku belajar qona’ah. Aku menahan diri, menggunakan yang ada, dan ternyata memang masih mencukupi untuk semua kebutuhan kerjaku.

Contoh lain, saat berbelanja bulanan. Minimalism mungkin akan menyarankan: beli secukupnya, jangan menimbun. Qona’ah pun mengajarkan hal yang sama, tapi dengan tambahan rasa syukur: tidak semua orang diberi kemampuan berbelanja, maka gunakan rezeki ini secukupnya, jangan berlebihan, dan sisakan untuk berbagi dengan yang membutuhkan.

Atau dalam pekerjaan, ada masa ketika aku merasa “kurang” dibandingkan orang lain—gaji mereka lebih besar, jabatan mereka lebih tinggi. Di situlah qona’ah menjadi pelajaran yang menenangkan. Aku belajar untuk menghargai apa yang sudah Allah titipkan padaku, mengelolanya dengan baik, dan berhenti membandingkan.

Minimalism mungkin bisa memberi ruang lega di lemari, tapi qona’ah memberi ruang lega di hati. Minimalism bisa mengurangi stres karena beban barang, tapi qona’ah bisa mengurangi stres karena beban dunia.

Aku tidak menolak minimalism, karena bagaimanapun ia membawa pesan yang baik: jangan berlebihan, fokus pada esensi. Tapi aku lebih memilih qona’ah sebagai panduan. Karena di dalamnya ada syukur, ada tawakal, ada rasa percaya bahwa Allah-lah yang mencukupkan.

0 komentar:

Benarkah Medsos Mendengar Gumaman Kita?

 Pernah nggak sih, kita cuma bergumam tentang sesuatu, lalu tiba-tiba iklannya muncul di beranda medsos? Rasanya seperti ada telinga yang mengintai, mendengarkan setiap kata, lalu menyajikannya kembali dalam bentuk promosi. Aku sering merasa begitu.

Awalnya aku pikir, jangan-jangan memang mikrofon di ponsel ini selalu menyala, menguping tanpa izin. Tapi setelah kupelajari, sebenarnya bukan itu. Medsos tidak benar-benar mendengar gumaman kita. Mereka tidak perlu melakukannya. Algoritmanya sudah terlalu canggih, bahkan bisa menebak apa yang kita butuhkan sebelum kita sendiri menyadarinya.

Caranya sederhana tapi menakutkan juga. Dari apa yang kita klik, apa yang kita cari, berapa lama kita berhenti di sebuah postingan, siapa teman kita, di mana kita berada, semua itu direkam. Lalu AI meramunya menjadi pola. Kalau kita baru saja mencari tiket perjalanan, tiba-tiba muncul iklan koper. Kalau teman dekat kita suka belanja skincare, tak lama produk serupa mampir juga di timeline kita.

Dan kita pun terheran-heran, “kok pas banget, ya?” Padahal itu bukan kebetulan. Itu algoritma yang sedang bekerja.

Aku jadi berpikir, sehebat itulah teknologi sekarang. Tapi di sisi lain, ada pertanyaan yang terus mengganggu: di mana batas privasi kita? Apakah kita masih punya ruang untuk benar-benar bebas memilih, atau sebenarnya kita hanya diarahkan oleh algoritma yang tahu kelemahan dan kebutuhan kita?

Mungkin jawabannya kembali ke kesadaran kita sendiri. Bahwa tidak semua yang muncul di layar harus kita ikuti. Bahwa kita tetap punya kendali untuk berkata “tidak” pada iklan yang berseliweran. Bahwa meskipun algoritma bisa menebak, pada akhirnya kita yang menentukan.

Merdeka di era digital bukan berarti bebas dari algoritma, tapi sadar bagaimana kita menggunakannya.

0 komentar: