Belakangan ini aku sering melihat orang membicarakan soal minimalism. Banyak konten di YouTube, Instagram, bahkan buku-buku best seller yang mengangkat tema ini. Katanya, hidup minimalis itu adalah seni memilah, membuang yang tidak penting, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar memberi makna. Tidak berlebihan, tidak menumpuk barang, tidak hidup dalam kejaran gaya hidup konsumtif.
Aku setuju, ada nilai yang baik dalam paham minimalism. Ia mengajarkan kita untuk sadar bahwa kebahagiaan tidak datang dari banyaknya barang yang kita miliki. Bahwa rumah yang penuh barang belum tentu membawa ketenangan, kadang justru membuat sesak. Bahwa hidup sederhana bisa memberi ruang lebih lega untuk bernapas.
Tapi di sisi lain, aku juga merenung. Bukankah sejak lama Islam sudah mengajarkan hal yang mirip, bahkan lebih dalam maknanya? Itulah yang disebut qona’ah. Bedanya, kalau minimalism di Barat sering lahir dari kejenuhan pada konsumerisme, qona’ah justru lahir dari rasa syukur.
Qona’ah bukan sekadar membatasi diri dari membeli barang atau mengurangi gaya hidup. Qona’ah adalah sikap hati: merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Kalau rezeki yang datang sedikit, kita tetap syukuri. Kalau banyak, kita kelola dengan bijak dan berbagi. Ada dimensi spiritual yang lebih menenangkan. Karena pada akhirnya, bukan sekadar soal jumlah barang atau seberapa “rapi” hidup kita, tapi seberapa ikhlas hati menerima takdir Allah.
Aku jadi ingat, ada momen ketika aku ingin sekali membeli gadget terbaru. Di timeline, iklannya muncul terus. Di sekelilingku, banyak teman yang sudah menggunakannya. Rasanya ada dorongan kuat untuk ikut membeli. Tapi kemudian aku bertanya pada diriku: “Apakah aku benar-benar butuh? Apakah yang ada sekarang tidak cukup?” Dari situ aku belajar qona’ah. Aku menahan diri, menggunakan yang ada, dan ternyata memang masih mencukupi untuk semua kebutuhan kerjaku.
Contoh lain, saat berbelanja bulanan. Minimalism mungkin akan menyarankan: beli secukupnya, jangan menimbun. Qona’ah pun mengajarkan hal yang sama, tapi dengan tambahan rasa syukur: tidak semua orang diberi kemampuan berbelanja, maka gunakan rezeki ini secukupnya, jangan berlebihan, dan sisakan untuk berbagi dengan yang membutuhkan.
Atau dalam pekerjaan, ada masa ketika aku merasa “kurang” dibandingkan orang lain—gaji mereka lebih besar, jabatan mereka lebih tinggi. Di situlah qona’ah menjadi pelajaran yang menenangkan. Aku belajar untuk menghargai apa yang sudah Allah titipkan padaku, mengelolanya dengan baik, dan berhenti membandingkan.
Minimalism mungkin bisa memberi ruang lega di lemari, tapi qona’ah memberi ruang lega di hati. Minimalism bisa mengurangi stres karena beban barang, tapi qona’ah bisa mengurangi stres karena beban dunia.
Aku tidak menolak minimalism, karena bagaimanapun ia membawa pesan yang baik: jangan berlebihan, fokus pada esensi. Tapi aku lebih memilih qona’ah sebagai panduan. Karena di dalamnya ada syukur, ada tawakal, ada rasa percaya bahwa Allah-lah yang mencukupkan.
0 komentar: