Menulis hari kedua ini, aku seperti sedang bercermin—bukan pada bayangan fisik, tapi pada perjalanan intelektual dan profesional yang telah kulalui. Rasanya campur aduk: ada bangga, ada ragu, ada juga tanya yang belum selesai.
Beberapa tahun terakhir, aku banyak terlibat dalam dunia akademik. Aku mengajar di ruang kelas, membimbing mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, ikut dalam penelitian dosen muda, hingga menulis laporan pertanggungjawaban kegiatan kampus. Di sisi lain, sebagai seorang dokter yang juga memimpin FKTP, aku ikut menyusun strategi pelayanan, menghadapi dinamika birokrasi, dan mendampingi tenaga kesehatan menghadapi tantangan pelayanan primer yang tak pernah habis.
Semua itu membuatku kaya pengalaman, tapi aku sadar, itu belum cukup menjadikanku “siap” untuk studi lanjut. Bukan karena tidak mampu, tapi karena aku tahu—ilmu itu bukan hanya soal apa yang sudah aku lakukan, tapi juga bagaimana aku mampu merefleksikannya. Aku ingin tahu, apakah yang kulakukan selama ini punya dasar ilmiah yang kuat? Atau hanya kebiasaan baik yang lahir dari intuisi?
Di tengah refleksi itu, aku mulai mengumpulkan jejak: apa saja yang pernah kutulis? Berapa banyak pelatihan yang kuikuti? Bagaimana pengalaman-pengalaman itu membentuk cara pandangku terhadap pendidikan? Saat aku membuka kembali portofolio dosenku, melihat kembali publikasi yang pernah kuterbitkan, membaca ulang makalah kecil yang pernah kubuat untuk seminar internal—aku tersenyum kecil. Ternyata aku tidak benar-benar memulai dari nol.
Namun ada hal yang tetap mengganjal. Banyak ide yang sebenarnya ingin kuperdalam, tapi selalu tertunda karena kesibukan administratif. Ada gagasan-gagasan kecil yang terselip dalam kegiatan pengabdian masyarakat atau pelatihan mahasiswa, yang mungkin akan lebih tajam jika dibaca dengan kacamata teoritik. Dan itulah yang ingin kulakukan saat S3 nanti: menyatukan pengalaman praktik dengan kerangka berpikir ilmiah.
Menulis ini membuatku berpikir bahwa refleksi itu penting. Ia bukan sekadar nostalgia, tapi proses melihat benang merah dari serpihan-serpihan yang selama ini tercecer. Aku ingin menjadikan refleksi ini sebagai awal membangun proposal, menyusun argumen, dan memilih arah riset. Hari ini, aku tidak hanya melihat ke belakang dengan rasa syukur, tapi juga ke depan dengan semangat belajar ulang.
0 komentar: