Seandainya orang tahu betapa melelahkannya menyiapkan dokumen akademik, mungkin mereka akan lebih bersimpati pada calon mahasiswa S3. Dari luar, terlihat seperti tugas administratif biasa: fotokopi ijazah, cetak transkrip, cari legalisir. Tapi dari dalam, ini seperti menggali kembali seluruh masa lalu akademik—dan segala rasa yang pernah melekat padanya.
Aku mulai membuka map-map lama yang sudah mulai menguning. Ada ijazah S1 yang dulu terasa begitu membanggakan, ada transkrip S2 yang kubaca ulang pelan-pelan—mengingat kembali perjuangan menyelesaikan tugas akhir, begadang menyusun makalah, diskusi kelompok yang kadang membingungkan, dan satu-dua nilai yang membuatku mengernyit.
Dokumen ini bukan sekadar syarat. Mereka adalah potongan sejarah. Mereka mengingatkanku pada siapa diriku waktu itu, dan bagaimana aku sampai di titik ini. Bahkan ketika aku melihat kembali hasil akreditasi prodi tempatku kuliah dulu, aku tersadar bahwa pendidikan adalah kerja kolektif yang panjang. Ada rasa syukur dan haru ketika tahu bahwa tempatku menimba ilmu dulu ternyata cukup kuat untuk mengantarku melangkah ke tahap berikutnya.
Namun tetap saja, urusan dokumen tidak semudah yang dibayangkan. Aku harus mencocokkan format, mengecek apakah file digitalnya masih bisa dibuka, memastikan nama di semua dokumen konsisten tanpa satu pun typo, dan mencari legalisir yang sah. Kadang terasa seperti pekerjaan remeh, tapi saat dijalani, cukup menyita energi.
Ada pula rasa gentar yang diam-diam muncul: “Apa nilai ini cukup untuk membuat mereka percaya padaku?” Meskipun aku tahu proses seleksi tidak hanya soal IPK atau transkrip, tetap saja selembar kertas itu punya daya untuk membuatku bertanya-tanya. Tapi di sisi lain, aku juga belajar untuk jujur. Bahwa nilai adalah catatan masa lalu, dan niat belajar adalah keputusan hari ini.
Saat ini aku sedang menyiapkan semuanya pelan-pelan. Tidak ingin terburu-buru. Aku beri waktu untuk diri sendiri—menghubungi kampus lama, meminta salinan digital resmi, dan menyusun folder-folder khusus di laptopku. Mungkin terlihat membosankan, tapi di tengah semua ini, aku merasa sedang membangun landasan.
Karena pada akhirnya, belajar di jenjang manapun tetap dimulai dari satu hal yang sama: kesiapan. Dan menyiapkan dokumen adalah salah satu bentuk kecil kesiapan itu. Bukan hanya untuk memenuhi persyaratan, tapi juga untuk menghormati perjalanan yang telah aku tempuh sejauh ini.
0 komentar: