Rasa Syukur- Nikmat Kesehatan

 


Memaknai nikmat kesehatan dengan besyukur. Pandemi menyadarkan saya, bahwa sehat itu sesuatu yang esensial. Setiap hari kita bebas menghirup oksigen gratis, bangun pagi dengan keadaan tubuh segar, melihat langit biru, dan hal-hal lain yangmungkin kita lupa untuk memaknainya.

Betapa mahalnya kesehatan itu, dimulai saat Papa terkena covid 2021, dirawat di rumah sakit tipe C, harus masuk ruang isolasi kemudian pindah rumah sakit karena ternyata perlu perawatan yang lebih, dan di rawatlah di ICU rumah sakit tipe. Rasanya campur aduk, ga siap, pengen gantiin papa rasanya. Di ICU tentunya papa sendiri, Alhamdulillah boleh bawa handphone dan kita masih bisa video call untuk memantau keadaan papa dan biar papa ga kesepian. Saat papa diijinkan keluar setelah perawatan dan keadaan membaik, Ya Allah rasanya bahagia sekali, bersyukur papa dan kami sekeluarga bisa menghadapi semuanya.

Tahun 2022 bulan Mei tiba-tiba mama nelpon, bilang papa kok kelihatan pucat. Saya bawa ke IGD rumah sakit, fisik papa baik-baik saja, tapi dari laboratorium Hb papa 6.6 mg/dl, yang artinya papa perlu dirawat dan perlu transfusi. Papa dirawat 3 hari dan transfusi 2/3 kantong (lupa), keluar rumah sakit papa segar kembali. Dua minggu setelah dirawat, papa kontrol ulang ke poliklinik, ternyata Hb, leukosit dan trombosit papa turun lagi. Dokter curiga ada infeksi di paru-paru karena memang papa ada riwayat covid tahun sebelumnya dan juga pernah TB tahun 2018 (pengobatan selesai). Dokter penyakit dalam waktu itu merujuk ke poli paru. Dokter spesialis paru meminta untuk CT scan thorax yang hasilnya ada bronkoektasis karena pernah TB dulu, untuk keluhan sesak pengobatannya simptomatis atau bila ada gejala.

Gejala pucat papa ternyata masih. Bulan Juli, papa dibawa kontrol lagi ke rumah sakit yang berbeda, Hb kembali turun 6.3 mg/dl dan diputuskan untuk dirawat. Papa dirawat 2 hari dengan transfusi 2 kantong. Dokter mengali kembali riwayat papa, di rumah sakit ini papa diperiksa comb test dengan hasil positif. Curiga ada perdarahan dari saluran cerna. Setelah rawatan ini papa disarankan untuk kolonoskopi. Untuk kolonoskopi ini, kami kembali ke rumah sakit pertama. Hasil kolonoskopi ternyata dalam batas normal. Makin bingunglah, apa ya yang menyebabkan anemia ini.

Sebelum kolonoskopi, papa cek rontgen thorax, dokter radiologi curiga, apakah TB nya aktif kembali, dan TB ini yang menyebabkan anemia. Setelah kolonoskopi, kami cek sputum di puskesmas dan hasilnya negatif. Kemudian papa kami cek lagi ke dokter penyakit dalam sub spesialis pulmo di rumah sakit ketiga, hasilnya gambaran rontgen bekas TB tapi tidak ada TB aktif. Dokter penyakit dalam spesialis pulmo akhirnya menyarankan untuk cek ke dokter spesialis penyakit dalam spesialis hemato di rumah sakit ke empat.

Papa yang selalu minta ditemani mama setiap cek sepertinya lelah karena tiap minggu harus ke rumah sakit, kadang ada putus asa, kadang semangat lagi, tapi yang paling penting adalah support system, saling menguatkan, jauhkan pikiran-pikiran negatif.  Di rumah sakit keempat ini, papa didiagnosis anemia aplasia. Bulan Oktober saat kontrol Hb papa 5.9 mg/dl, dianjurkan rawat setelah daftar untuk rawat inap ternyata kamar penuh, akhirnya dokternya menyarankan untuk ke rumah sakit lain (rumah sakit ke lima) yang beliau juga praktik di sana. Papa masuk lewat IGD, papa dirawat 3 hari, Hb saat pulang 9.3 mg/dl. Ternyata Hb ini tidak bertahan lama juga, bulan Desember awal tanggal 5 papa di rawat lagi di rumah sakit ke empat karena Hb kembali 6.3 mg/dl. Harusnya papa dirawat tanggal 1 Desember, karena saya masih di luar kota, Papa ditunda jadi dirawat tanggal 5 Desember. Keadaan papa stabil, makan seperti biasa, hanya Hb yang rendah. Pulang rawatan terakhir ini Hb papa 9.7mg/dl. Alhamdulillah.

Kesehatan itu mahal dan perlu dijaga. Support system dari semua keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar sangat berpengaruh. Walau setiap minggu kami masih harus kembali kontrol ke rumah sakit, saya dan kakak menyemangati papa dan mama, anggap aja kita ke rumah sakit cari suasana baru, lebih bisa mensyukuri apa yang ada, menjaga apa yang ada. Satu kalimat dokter yang sangat menguatkan bagi keluarga kami, Jangan terlalu dipikirkan, kalau kurang kita tambah. Kalimat sederhana, yang menyadarkan kami, membuka mata kami, masih ada keaadaan orang lain yang lebih . Mengamati sesama pasien, keluarga pasien yang antri untuk konsultasi dengan dokter, kesabaran menunggu, kesabaran menerima, bahkan saling bercerita untuk saling menguatkan. Memaknai setiap detik dengan rasa syukur mengajarkan kami bahwa kami kuat dan saling menguatkan. 

0 komentar: