featured Slider

Featured Post

Rencana Jalan-Jalan Hemat ke Thailand Bersama Mama

 


Setelah menuliskan rencana jalan-jalan ke Malaysia, entah kenapa pikiran saya jadi melayang ke negara tetangga lainnya: Thailand. Rasanya menyenangkan membayangkan bisa mengajak Mama menikmati suasana baru, budaya yang berbeda, dan tentunya pengalaman berharga yang tidak hanya soal destinasi, tapi juga soal kebersamaan.

Karena perjalanan ini baru sebatas rencana, saya mencoba menyusun itinerary sederhana—hemat tapi tetap nyaman—dengan durasi 4 hari 3 malam di Bangkok dan sekitarnya.


Hari 1 – Tiba di Bangkok, Menikmati Malam di Tepi Sungai

Saya membayangkan kami tiba siang atau sore di Bangkok. Dari bandara, pilihan hematnya tentu Airport Rail Link lalu sambung BTS atau Grab menuju penginapan. Saya membayangkan area Pratunam atau Sukhumvit, karena selain harganya masuk akal, lokasinya juga strategis.

Setelah check-in dan sedikit istirahat, saya ingin mengajak Mama berjalan sore ke Asiatique The Riverfront. Tempat ini suasananya santai, tepi sungai, penuh lampu-lampu malam, cocok untuk sekadar makan bersama sambil menikmati angin sungai. Saya rasa Mama akan suka suasana seperti ini, tidak terlalu ramai seperti pasar, tapi juga tidak sepi.


Hari 2 – Menyusuri Budaya dan Warisan Bangkok

Hari kedua, kami akan fokus pada city tour Bangkok. Pagi-pagi, setelah sarapan, tujuan utama tentu Grand Palace dan Wat Phra Kaew. Tempat ini memang ikonik, tapi juga penuh makna sejarah. Saya membayangkan Mama akan senang melihat keindahan arsitektur kuil yang begitu detail.

Dari sana, perjalanan bisa dilanjutkan ke Wat Pho dengan patung Buddha berbaring yang terkenal. Lalu, kalau masih ada energi, mungkin naik perahu sebentar di Sungai Chao Phraya. Sore hari, saya ingin mengajak Mama ke Wat Arun, kuil cantik di tepi sungai yang katanya sangat indah saat matahari terbenam.

Hari itu mungkin akan cukup melelahkan, tapi saya yakin juga akan jadi hari penuh foto dan cerita.


Hari 3 – Sejenak ke Ayutthaya

Kalau ada satu tempat yang tidak jauh dari Bangkok tapi punya suasana berbeda, saya ingin membawanya ke Ayutthaya. Naik kereta dari Bangkok hanya sekitar 1,5 jam, murah dan cukup nyaman.

Di sana ada reruntuhan kota tua dan candi-candi yang penuh cerita masa lalu. Kami bisa berkeliling dengan tuk-tuk lokal supaya Mama tidak terlalu capek berjalan. Rasanya seperti membawa Mama menyusuri lorong waktu, melihat sejarah Thailand yang masih terjaga dalam bentuk reruntuhan indah.

Sore hari kembali ke Bangkok, dan malamnya cukup makan di sekitar hotel.


Hari 4 – Belanja Ringan dan Pulang

Hari terakhir, sebelum kembali ke Indonesia, saya ingin menyisihkan waktu untuk belanja ringan. Pratunam Market atau Platinum Fashion Mall cukup dekat dari penginapan. Mama bisa membeli oleh-oleh atau sekadar cuci mata. Setelah itu, waktunya kembali ke bandara, menutup perjalanan singkat yang penuh makna.


Refleksi

Membayangkan perjalanan ini membuat saya sadar, bahwa jalan-jalan bersama orang tua bukan soal berapa banyak tempat yang didatangi, tapi bagaimana membuat perjalanan itu nyaman untuk mereka. Bagi saya, perjalanan ke Thailand bersama Mama akan lebih menjadi tentang percakapan panjang di hotel, senyumnya saat mencoba makanan baru, atau tangannya yang menggenggam lengan saya ketika menyeberang jalan ramai di Bangkok.

Itinerary ini mungkin masih sederhana, tapi bagi saya, ia sudah cukup untuk menjadi kerangka sebuah kenangan. Dan saya berharap, suatu saat bisa menuliskan versi nyata dari perjalanan ini—bukan lagi rencana, tapi pengalaman yang benar-benar kami jalani berdua.


Estimasi Budget ala Perjalanan Hemat

Kalau bicara soal budget, tentu saya ingin yang hemat tapi tetap nyaman, apalagi karena bepergian dengan Mama. Dari berbagai catatan perjalanan orang lain, saya kira-kira menyusun perkiraan biaya untuk 4 hari 3 malam di Bangkok:

  • Penginapan: Hotel bintang 3 di area Pratunam atau Sukhumvit, sekitar Rp 300–500 ribu per malam. Kalau dihitung untuk 3 malam, totalnya sekitar Rp 900 ribu sampai Rp 1,5 juta.

  • Makan: Di Thailand banyak sekali pilihan makanan murah dan enak. Kalau dihitung rata-rata Rp 80–150 ribu per hari, total selama 4 hari mungkin sekitar Rp 400–600 ribu.

  • Transportasi: Mengandalkan BTS/MRT dan sesekali Grab, ditambah tiket kereta ke Ayutthaya, saya kira sekitar Rp 400–600 ribu sudah cukup.

  • Tiket masuk wisata: Grand Palace, Wat Pho, Wat Arun, dan beberapa tempat lain butuh tiket. Totalnya tidak lebih dari Rp 200–300 ribu.

  • Oleh-oleh atau belanja ringan: Ini tentu fleksibel, tapi saya kira setidaknya Rp 300–500 ribu untuk berjaga-jaga.

Kalau dijumlah, biaya perjalanan (di luar tiket pesawat) berkisar Rp 3–4 juta per orang. Angka ini menurut saya cukup masuk akal untuk perjalanan singkat yang nyaman, tanpa harus berlebihan, tapi tetap bisa menikmati pengalaman jalan-jalan di luar negeri bersama orang tersayang.


Dengan estimasi ini, saya merasa perjalanan ke Thailand bukan hal yang mustahil. Bukan sekadar liburan, tapi juga bentuk hadiah kecil untuk Mama, karena akhirnya saya bisa mengajaknya merasakan suasana negara lain—dengan cara yang sederhana tapi penuh makna.


Rencana jalan-jalan bersama mama

 

Hari Pertama: Menyapa Bukit Bintang

Setelah sampai di hotel dan check-in, kami akan istirahat sebentar sebelum keluar. Karena lokasinya strategis, rencananya sore itu kami cukup berjalan kaki menuju Pavilion Mall atau Lot 10 Mall. Mall-mall ini bukan sekadar tempat belanja, tapi juga nyaman untuk sekadar cuci mata atau ngopi santai.

Malamnya, saya ingin mengajak mama berjalan ke Jalan Alor, pusat kuliner malam Kuala Lumpur yang terkenal. Menikmati suasana lampu-lampu malam dan mencoba makanan lokal di sana sepertinya akan jadi pembuka perjalanan yang seru.


Hari Kedua: Menara Kembar & Jejak Sejarah

Pagi hari, kami akan naik Monorel dari Bukit Bintang lalu lanjut dengan LRT menuju KLCC. Tujuan utamanya tentu saja Menara Kembar Petronas. Saya ingin mengajak mama berfoto di depan ikon Malaysia ini, lalu berjalan santai di Taman KLCC. Setelah itu, kami bisa masuk sebentar ke Suria KLCC Mall untuk makan siang atau sekadar beristirahat.

Siangnya, rencana berikutnya adalah menuju Masjid Jamek dan Dataran Merdeka dengan LRT. Area ini kaya akan bangunan bersejarah dan suasananya lebih tenang. Jika mama masih kuat, saya ingin melanjutkan ke Masjid Negara, mungkin dengan Grab agar tidak terlalu melelahkan.

Malamnya, kami akan kembali ke Bukit Bintang. Pilihan makan malam bisa di Lot 10 Hutong Food Court yang terkenal dengan kuliner khas Malaysia.


Hari Ketiga: Alam Tenang Sebelum Pulang

Hari terakhir, saya ingin suasana yang lebih santai. Dari Bukit Bintang MRT, kami akan menuju Muzium Negara Station, lalu berjalan sebentar ke Perdana Botanical Garden. Taman ini luas, rindang, dan cocok untuk jalan pagi sebelum pulang. Jika waktunya cukup, saya juga ingin mengajak mama melihat KL Bird Park, tapi ini sifatnya opsional.

Setelah itu, kami akan kembali ke hotel untuk mengambil koper dan langsung menuju bandara dengan KLIA Ekspres dari KL Sentral.


Kenapa Rencana Ini Dibuat Santai?

Saya menyusun perjalanan ini dengan mempertimbangkan kenyamanan mama. Saya tidak ingin jadwal terlalu padat, cukup 2–3 tempat per hari. Bagi saya, liburan dengan orang tua bukan soal berapa banyak destinasi yang bisa dicapai, tapi bagaimana membuat perjalanan terasa menyenangkan, tidak melelahkan, dan tetap berkesan.

Saya berharap rencana kecil ini bisa segera terwujud, dan saya bisa berbagi cerita nyata nanti setelah benar-benar menjalankannya. Untuk sekarang, inilah rencana yang saya simpan dulu—sebagai pengingat bahwa saya dan mama berhak punya momen berdua yang hangat, sederhana, tapi istimewa. 

Belanja Suistanable Product

 Belanja, siapa sih yang tidak suka? Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika membawa pulang barang baru. Tapi akhir-akhir ini aku mulai bertanya pada diri sendiri: apakah belanja yang kulakukan selama ini sudah bijak? Apakah barang yang kubeli hanya menambah tumpukan di rumah, atau benar-benar berguna dan punya dampak baik?

Dari situ aku mulai mengenal konsep sustainable product—produk yang lebih ramah lingkungan, lebih tahan lama, dan diproduksi dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Belanja berkelanjutan bukan berarti kita sama sekali berhenti belanja, tapi lebih kepada bagaimana kita memilih.

Misalnya, saat memilih baju. Aku dulu sering tergoda dengan tren fast fashion, beli karena murah atau lucu, lalu cepat bosan dan akhirnya jarang dipakai. Sekarang aku mencoba memilih baju dengan bahan yang lebih awet, model yang timeless, meskipun harganya sedikit lebih mahal. Rasanya ada kepuasan berbeda: tidak sekadar punya yang baru, tapi juga tahu bahwa aku sedang berusaha mengurangi sampah tekstil.

Atau ketika membeli kebutuhan rumah tangga. Dulu aku tidak terlalu peduli kemasannya, sekarang aku mulai melirik produk isi ulang (refill), atau yang menggunakan bahan ramah lingkungan. Memang kecil, tapi aku percaya setiap langkah kecil bisa memberi dampak kalau dilakukan terus-menerus.

Belanja sustainable juga melatih qona’ah—merasa cukup. Karena saat kita lebih bijak memilih, kita jadi lebih sadar mana yang benar-benar dibutuhkan, mana yang hanya keinginan sesaat.

Dan ternyata, ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita coba untuk mulai belanja lebih berkelanjutan:

  • Membawa tas belanja sendiri, supaya tidak terus menambah plastik sekali pakai.

  • Lebih memilih produk lokal, karena selain mendukung UMKM, jejak karbonnya lebih kecil daripada barang impor.

  • Membeli barang dengan kualitas baik meski harganya sedikit lebih mahal, supaya tidak cepat rusak dan berakhir jadi sampah.

  • Memanfaatkan produk isi ulang atau refill station yang sekarang mulai banyak bermunculan.

Mungkin tidak mudah mengubah kebiasaan, apalagi ketika godaan diskon dan tren baru terus menggoda. Tapi setiap kali aku ingat betapa menumpuknya sampah di TPA, atau bagaimana bumi ini semakin sesak, aku jadi termotivasi untuk lebih bijak.

Belanja sustainable bukan hanya tentang gaya hidup, tapi juga tentang tanggung jawab. Tanggung jawab pada diri sendiri, pada generasi setelah kita, dan pada bumi yang kita tinggali bersama.

FOMO

 Kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa kita sering sekali sulit mengendalikan FOMO—fear of missing out. Rasanya selalu ingin ikut tren, ingin mencoba yang terbaru, ingin terlihat update. Seolah kalau tidak ikut, kita ketinggalan kereta, dianggap “nggak gaul”, atau malah takut dipandang sebelah mata.

Aku perhatikan, banyak juga yang akhirnya mengejar validasi orang lain. Berlomba-lomba menjadi si paling branded, si paling ngerti, si paling update. Kita membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat punya. Kita ikut obrolan bukan karena paham, tapi karena takut dianggap asing. Kadang, semua itu bukan tentang diri kita, melainkan tentang bagaimana orang lain melihat kita.

Padahal kalau dipikir, sampai kapan kita bisa memenuhi standar orang lain? Bukankah selalu ada yang lebih branded, lebih pintar, lebih kaya, lebih segalanya? Mengejar validasi orang lain itu seperti berlari di treadmill: capek, tapi tidak pernah benar-benar sampai ke mana-mana.

Aku belajar bahwa mengendalikan FOMO butuh keberanian untuk berkata, “cukup.” Berani berhenti ketika hati sudah tahu bahwa itu bukan kebutuhan, hanya keinginan untuk dipuji. Berani memilih jalan yang tidak selalu ramai, asal sesuai dengan nilai dan kemampuan diri.

Ada ketenangan tersendiri ketika kita mulai hidup apa adanya. Saat tidak lagi berlomba menjadi si paling ini atau si paling itu, melainkan cukup menjadi diri sendiri. Karena pada akhirnya, yang paling tahu tentang kita bukan orang lain, tapi diri kita sendiri. Dan yang paling berhak menilai kita bukan manusia, tapi Allah.

Jadi, mungkin yang lebih penting bukan bagaimana dunia memandang kita, tapi bagaimana kita memandang diri kita sendiri.

Rindu ke Baitullah

 Ada rasa sesal yang sampai sekarang masih terasa. Waktu itu aku berangkat umroh bersama mama. Aku ingin sekali bisa mendoakan yang terbaik untuk papa, bahkan mengumrohkan beliau. Tapi ternyata, fisikku tidak cukup kuat. Aku tidak menjaga kesehatan sebelum berangkat, tidak disiplin berolahraga, dan akhirnya tubuhku melemah saat di tanah suci. Rasanya perih sekali. Aku merasa gagal, merasa tidak maksimal menjalani ibadah yang sebenarnya sangat aku rindukan.

Di antara rasa sesal itu, aku belajar sesuatu. Bahwa ibadah bukan hanya soal niat, tapi juga kesiapan jasmani. Bahwa menjaga tubuh adalah bagian dari amanah Allah. Aku baru sadar, seandainya sejak awal aku merawat kesehatan lebih serius, mungkin aku bisa lebih tenang, lebih kuat, dan bisa memberikan yang terbaik.

Namun aku tahu, Allah Maha Tahu isi hati hamba-Nya. Meski aku tidak bisa mengumrohkan papa waktu itu, aku tetap menggantungkan doa, menitipkan rindu, memohon agar pahala umroh yang sederhana itu Allah catatkan juga untuknya. Dan aku terus berdoa, semoga suatu hari nanti aku diundang kembali ke Baitullah. Kali ini dengan tubuh yang lebih siap, hati yang lebih ikhlas, dan langkah yang lebih kuat.

Kadang hidup memang memberi kita penyesalan, tapi penyesalan itu bisa jadi cambuk untuk memperbaiki diri. Aku ingin belajar dari pengalaman itu—bahwa menjaga kesehatan bukan sekadar rutinitas, tapi bekal agar ketika Allah memanggil lagi, aku siap sepenuhnya.

Minimalism dan Qona’ah: Antara Ruang di Lemari dan Ruang di Hati

 Belakangan ini aku sering melihat orang membicarakan soal minimalism. Banyak konten di YouTube, Instagram, bahkan buku-buku best seller yang mengangkat tema ini. Katanya, hidup minimalis itu adalah seni memilah, membuang yang tidak penting, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar memberi makna. Tidak berlebihan, tidak menumpuk barang, tidak hidup dalam kejaran gaya hidup konsumtif.

Aku setuju, ada nilai yang baik dalam paham minimalism. Ia mengajarkan kita untuk sadar bahwa kebahagiaan tidak datang dari banyaknya barang yang kita miliki. Bahwa rumah yang penuh barang belum tentu membawa ketenangan, kadang justru membuat sesak. Bahwa hidup sederhana bisa memberi ruang lebih lega untuk bernapas.

Tapi di sisi lain, aku juga merenung. Bukankah sejak lama Islam sudah mengajarkan hal yang mirip, bahkan lebih dalam maknanya? Itulah yang disebut qona’ah. Bedanya, kalau minimalism di Barat sering lahir dari kejenuhan pada konsumerisme, qona’ah justru lahir dari rasa syukur.

Qona’ah bukan sekadar membatasi diri dari membeli barang atau mengurangi gaya hidup. Qona’ah adalah sikap hati: merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Kalau rezeki yang datang sedikit, kita tetap syukuri. Kalau banyak, kita kelola dengan bijak dan berbagi. Ada dimensi spiritual yang lebih menenangkan. Karena pada akhirnya, bukan sekadar soal jumlah barang atau seberapa “rapi” hidup kita, tapi seberapa ikhlas hati menerima takdir Allah.

Aku jadi ingat, ada momen ketika aku ingin sekali membeli gadget terbaru. Di timeline, iklannya muncul terus. Di sekelilingku, banyak teman yang sudah menggunakannya. Rasanya ada dorongan kuat untuk ikut membeli. Tapi kemudian aku bertanya pada diriku: “Apakah aku benar-benar butuh? Apakah yang ada sekarang tidak cukup?” Dari situ aku belajar qona’ah. Aku menahan diri, menggunakan yang ada, dan ternyata memang masih mencukupi untuk semua kebutuhan kerjaku.

Contoh lain, saat berbelanja bulanan. Minimalism mungkin akan menyarankan: beli secukupnya, jangan menimbun. Qona’ah pun mengajarkan hal yang sama, tapi dengan tambahan rasa syukur: tidak semua orang diberi kemampuan berbelanja, maka gunakan rezeki ini secukupnya, jangan berlebihan, dan sisakan untuk berbagi dengan yang membutuhkan.

Atau dalam pekerjaan, ada masa ketika aku merasa “kurang” dibandingkan orang lain—gaji mereka lebih besar, jabatan mereka lebih tinggi. Di situlah qona’ah menjadi pelajaran yang menenangkan. Aku belajar untuk menghargai apa yang sudah Allah titipkan padaku, mengelolanya dengan baik, dan berhenti membandingkan.

Minimalism mungkin bisa memberi ruang lega di lemari, tapi qona’ah memberi ruang lega di hati. Minimalism bisa mengurangi stres karena beban barang, tapi qona’ah bisa mengurangi stres karena beban dunia.

Aku tidak menolak minimalism, karena bagaimanapun ia membawa pesan yang baik: jangan berlebihan, fokus pada esensi. Tapi aku lebih memilih qona’ah sebagai panduan. Karena di dalamnya ada syukur, ada tawakal, ada rasa percaya bahwa Allah-lah yang mencukupkan.