Wakil Rakyat seharusnya Merakyat #lagu

 Sibuknya negara ini. Barusan lewat di Thread Ig, kalau mau jadi anggota DPR harus lulus S2, lulus TKD, lulus psikotes. Wah kok setuju ya... Mereka wakil rakyat, ya harus pinter, karena mau membangun bangsa. Kalau perlu ditambah syarat, sudah ada bukti pengaruh dan manfaatnya ke masyarakat. Jangan hanya awardee LPDP saja yang harus membuat esai mengenai kontribusinya untuk negara ini. Yang mereka dapatkan toh cuma biaya sekolah dan biaya hidup.. Ga ada dana aspirasi yang mereka bawa.

Mungkin ini terpicu dari hasil wawancara seorang anggota DPR di TV Nasional, yang tidak mau disamakan dengan rakyatnya. Merasa gajinya harus besar. Dan mengatakan host yang mewancarainya cacat pikiran. Dari data begitu banyak masyarakat yang diwakili oleh WAKIL RAKYAT ini memang hidup di garis kemiskinan, berapa banyak lulusan perguruan tinggi yang hanya mendapatkan gaji 2juta-3juta. Rakyat kecil gaji kecil atau upah kecil inilah yang ikut memilih wakil rakyat terhormat ini. Dengan himbauan pakailah gak konstitusinya, dapatkan wakil rakyat yang bisa menyampaikan aspirasi kalian. Melihat keadaan sekarang, wajarkah mereka marah? 

Apa yang dipertontonkan sekarang, gaji mereka atau tunjangan mereka naik, atau mereka joget, atau sibuk klarifikasi, sibuk dari satu podcast ke podcast lain, sibuk ke TV, untuk menyampaikan ga jadi naik, ga ada yang mereka terima. Lalu ucapan siapa yang harus masyarakat percaya??? 

Kata-kata mereka tidak sejalan dengan perbuatan. Masyarakat makin tercekik. Sampai ada hastag #janganbayarpajak, saking muaknya masyarakat melihat wakil rakyatnya, kluarganya, aparat yang digaji dengan uang pajak sibuk flexing, sibuk menyampaikan ke khalayak media sosial berapa berhasilnya mereka memakai uang, mendapatkan fasilitas pengawalan mulai dari ke salon sampai ke luar negeri dengan alasan menemani anak lomba. Bahkan ada kepala lembaga suatu daerah, mengeluarkan surat tugas dengan kop surat resmi untuk ASN jadi panitia pernikahan anaknya. Tapa surat tugas itu semua, bila terbangun rasa kekeluargaan, ada anak kolega yang menikah, menjadi panitia pun ga masalah, yang penting jangan dipakai uang rakyatnya pak. 

Belum lagi ada anggota DPR karena tidak punya kemampuan publik speaking yang mumpuni justru menambah kemarahan rakyat. Kami tidak apa-apa di demo, lah pas di demo mereka disemprot gas air mata (sepertinya odol laku keras di masa demo ini), pas demo ojol terlindas mobil aparat. Jadi demo yang kami lihat sekarang ojol vs DPR. Yang awalnya bukan hanya mewakili satu profesi saja. Tapi ya sudahlah, semoga bisa selesai masalah ini satu pernsatu. 

Dengan hijaunya atau orangenya atau kuningnya jalanan, dengan seragam para ojol, ini menunjukkan profesi ini banyak digeluti oleh rakyat yang memilih wakil rakyat yang terhormat. Tanggal 28 Agustus sebenarnya juga ada demo para buruh, setiap demo mereka juga rame sekali. Artinya, itulah pekerjaan pekerjaan rakyat yang diwakilkan oleh Bapak Ibu yang duduk di ruang ber AC di gedung DPR. 

Kalaulah syarat di atas disahkan. Kebayangkan calon anggota DPR akan belajar dengan giat di bangku sekolah dan kuliah, kalau sudah lulus dan punya ijazah akan sibuk bimbel sana- sini, Bimbel TKD untuk calon DPR. Bimbel public speaking untuk calon DPR, Bimbel Psikotest untuk calon DPR. Dan banyak bimbel lagi agar mereka belajar sebelum jadi anggota. DPR. Bukan belajar setelah jadi anggota DPR. Bayangkan betapa banyak lapangan kerja yang terbentuk dengan banyaknya bimbel yang terbentuk. Betapa banyak guru-guru bisa side job sebagai pengajar bimbel anggota DPR. Guru-guru honorer juga bisa ikutan karena masih belum diangkat juga sebagai PNS. Woow kan. Gaji mereka yang kecil yang disampaikan menteri keuangan sebagian "beban negara", bisa membantu diri mereka sendiri untuk hidup lebih layak. 

Tapi eh tapi kalau udah ada test test gini.. Bakal ada ada calo ga ya? 🫢


0 komentar:

Wacana dan Rencana: Beda tapi Sering Tertukar

 


Wacana: Ide yang Masih Mengambang
Rencana: Wacana yang Berubah Jadi Tindakan
x

Beberapa waktu lalu aku lagi ngobrol sama teman tentang proyek yang mau kami jalani. Saat itu temanku bilang,

“Ah, ini cuma wacana aja sih, belum jadi rencana.”

Aku langsung terhenti sejenak. Sebenarnya, apa sih bedanya wacana dan rencana? Dan kenapa kita sering salah kaprah menggunakannya?

Wacana itu seperti ide-ide yang bertebaran di kepala atau dibicarakan di meja kopi. Ia belum punya bentuk konkret, belum ada langkah yang jelas. Bisa jadi wacana muncul dari obrolan santai, brainstorming, atau bahkan komentar spontan di grup chat.

Contohnya: kamu bilang, “Kayaknya seru kalau kampus kita bikin program literasi digital.” Itu masih wacana. Belum ada yang menulis proposal, belum ada timeline, dan belum ada yang benar-benar mulai mengeksekusi.

Wacana itu penting—karena dari wacana, ide-ide segar bisa muncul. Tapi wacana juga gampang hilang kalau tidak ditindaklanjuti.

Rencana adalah wacana yang sudah “dibekukan” menjadi langkah-langkah konkret. Di sini, ide mulai diberi bentuk: siapa yang mengerjakan, kapan dimulai, dan apa target akhirnya.

Kalau pakai contoh sebelumnya, rencana dari wacana literasi digital bisa jadi:

  1. Membuat tim inti program.

  2. Menyusun proposal kegiatan.

  3. Menentukan jadwal workshop selama 3 bulan.

  4. Menetapkan indikator keberhasilan program.

Rencana itu jelas, terstruktur, dan siap dijalankan. Tanpa rencana, wacana akan tetap terapung-apung, menarik tapi sulit diwujudkan.

Refleksi Pribadi

Aku pernah mengalami fase “cuma wacana” selama berbulan-bulan. Aku punya banyak ide, banyak ngobrol, banyak inspirasi, tapi tidak ada yang benar-benar bergerak. Rasanya seru tapi juga bikin frustasi. Baru ketika aku mulai menulis langkah konkret, membuat timeline kecil, dan menetapkan target harian, wacana itu akhirnya berubah jadi rencana yang bisa dijalankan.

Dari pengalaman itu, aku belajar: wacana itu energi, rencana itu arah. Keduanya penting. Tanpa wacana, rencana kering dan kaku. Tanpa rencana, wacana hanyalah angan-angan.

Jadi, kalau kamu lagi ngobrol sama teman atau membahas proyek, ingatlah:

  • Wacana itu ide yang masih bebas dan mengalir.

  • Rencana itu wacana yang sudah dikunci menjadi langkah nyata.

Kalau bisa mengelola keduanya dengan baik, ide yang awalnya cuma wacana bisa jadi rencana yang berjalan, dan siapa tahu akan membawa perubahan nyata.

0 komentar:

Seri Skripsi 6: Skripsi – Antara Beban, Perjalanan, dan Titik Balik

 


Ada satu kata yang bisa bikin mahasiswa langsung resah sekaligus semangat: skripsi.
Bagi sebagian orang, skripsi itu momok. Rasanya berat, menakutkan, penuh tekanan. Tapi bagi sebagian lain, skripsi adalah kesempatan terakhir untuk membuktikan diri sebelum akhirnya melepas toga.

Jujur saja, aku sering melihat skripsi diperlakukan hanya sebagai syarat kelulusan. Sesuatu yang harus cepat-cepat diselesaikan, sekadar formalitas. Padahal, kalau mau jujur, skripsi itu lebih dari sekadar lembaran laporan tebal dengan jilid biru.

Skripsi Sebagai Cermin Diri

Waktu pertama kali mulai mengerjakan skripsi, banyak mahasiswa bingung: harus mulai dari mana? Topiknya apa? Metodenya gimana? Dan biasanya, di situlah muncul drama—galau, bingung, sampai ingin menyerah.

Tapi di balik semua kebingungan itu, ada satu hal yang tak boleh dilupakan: skripsi sebenarnya adalah cermin.

  • Ia mencerminkan cara kita berpikir.

  • Ia menunjukkan sejauh mana kita bisa bertahan dengan proses panjang.

  • Ia menguji seberapa dalam kita bisa konsisten pada satu masalah.

Skripsi bukan soal pintar atau tidak, tapi soal mau atau tidak bertahan di prosesnya.

Antara Bimbingan dan Kesabaran

Ada fase yang paling sering bikin stres: bimbingan dosen. Kadang mahasiswa merasa sudah menulis panjang, tapi dosennya hanya memberi komentar singkat: “Ulangi lagi bagian ini.”

Rasanya sakit, ya. Apalagi kalau sudah lembur semalaman. Tapi dari situlah kita belajar: kesabaran akademik. Bahwa dunia ilmiah tidak mengenal instan. Bahwa kualitas itu lahir dari proses koreksi berulang. Dan bahwa kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menajamkan.

Titik Balik

Percaya atau tidak, banyak mahasiswa yang justru menemukan “dirinya” saat skripsi. Ada yang jadi jatuh cinta pada penelitian. Ada yang menyadari passion-nya di bidang tertentu. Bahkan ada yang skripsinya berlanjut jadi publikasi ilmiah atau karier masa depan.

Skripsi bisa jadi titik balik. Tapi hanya kalau kita mau menjalaninya dengan hati terbuka, bukan sekadar beban yang ingin cepat-cepat dituntaskan.

Pesan untuk Kamu yang Lagi Skripsi

Kalau kamu sekarang sedang skripsi, mungkin rasanya melelahkan. Tapi percayalah, kamu tidak sendirian. Semua orang pernah melewati fase ini, dengan segala drama dan air matanya.

Ingat, skripsi bukan akhir, melainkan latihan awal untuk hal-hal yang lebih besar di hidupmu nanti. Jadi jangan hanya fokus ke hasil akhirnya, tapi nikmati juga prosesnya. Karena di situlah pembentukan dirimu yang sebenarnya sedang terjadi.

0 komentar:

CTRL. (Netflix): Sebuah Cermin Tentang Kendali yang Sering Kita Kira Kita Punya

 


Ada satu hal yang sering kita ucapkan tanpa benar-benar memikirkannya: “Hidupku, kendaliku.”
Kalimat itu terdengar meyakinkan, penuh semangat, dan seolah-olah kita benar-benar punya tombol control di tangan kita. Tapi setelah menonton film CTRL. di Netflix, aku jadi berpikir ulang: benarkah kita memang sepenuhnya mengendalikan hidup ini?

Film yang Minimalis, Tapi Mengganggu Pikiran

Sekilas, CTRL. mungkin terlihat sederhana. Setting-nya terbatas, karakternya sedikit, nuansanya gelap. Bahkan judulnya hanya satu kata: CTRL. Tapi justru kesederhanaan itu yang membuat film ini terasa menghantui.

Cerita berpusat pada seorang perempuan yang berusaha menghadapi pergulatan batin, masa lalu, dan hubungannya dengan dunia digital. Dari menit pertama, kita sudah diajak masuk ke dalam ruang yang sempit, intens, dan penuh teka-teki. Ada pertanyaan besar yang terus menggelayuti: apakah tokoh ini benar-benar membuat pilihan, atau dia hanya boneka dari sistem yang lebih besar?

Menontonnya membuatku seperti duduk di depan cermin, menatap wajah sendiri, lalu bertanya:
"Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku, atau aku hanya mengikuti arus yang tak pernah kupahami?"

Kontrol Itu Ilusi?

Di zaman serba digital ini, kata “kontrol” seakan punya makna baru. Kita bisa mengatur playlist musik, memesan makanan lewat aplikasi, bahkan mengubah gaya foto dengan sekali klik filter. Semua terasa berada di bawah kendali kita.

Namun, film ini seakan menampar pelan: kendali macam apa yang sebenarnya kita punya, kalau hampir semua langkah kita sudah diatur oleh notifikasi, algoritma, dan ekspektasi sosial?

  • Kita pikir memilih film sendiri, padahal direkomendasikan algoritma.

  • Kita pikir menulis status dengan bebas, padahal terpengaruh tren.

  • Kita pikir memilih jalan hidup, padahal sering terseret norma, keluarga, atau ketakutan pribadi.

Di titik ini, CTRL. tidak hanya bercerita tentang si tokoh. Film ini sebenarnya juga sedang berbicara tentang kita.

Rasa Tidak Nyaman yang Justru Berharga

Aku akui, menonton CTRL. tidak selalu menyenangkan. Atmosfernya cenderung claustrophobic, menekan, membuat sesak. Mungkin sebagian orang akan menutup layar di tengah jalan karena merasa “nggak nyaman.”

Tapi justru rasa tidak nyaman itulah yang berharga. Karena di situlah refleksi terjadi. Hidup kita jarang membuat kita berhenti sejenak untuk bertanya:

  • Apa yang sebenarnya aku kendalikan?

  • Apa yang sedang mengendalikan aku?

  • Apakah aku berani mengambil kembali kendali, atau lebih nyaman menyerahkannya pada sistem?

Pelajaran yang Aku Bawa Pulang

Bagi aku pribadi, CTRL. adalah film tentang kesadaran. Kesadaran bahwa kendali itu bukan soal mengatur semua hal di luar sana, tapi tentang bagaimana kita menyadari pilihan-pilihan kecil yang benar-benar bisa kita ambil.

Kadang, kendali bukan berarti menggenggam erat semua hal, tapi justru melepaskan hal-hal yang tak bisa kita atur, lalu fokus pada hal-hal yang memang bisa kita pegang.

Setelah film selesai, aku menutup laptop dengan perasaan campur aduk. Ada resah, ada bingung, tapi juga ada rasa syukur. Karena aku diingatkan, bahwa hidup ini bukan soal menguasai segalanya, tapi tentang menyadari di mana letak kendali yang sebenarnya.

Kalau kamu nonton CTRL., mungkin kamu akan punya tafsiran sendiri. Bisa jadi kamu melihatnya sebagai cerita tentang trauma, tentang teknologi, atau tentang manusia yang terjebak dalam sistem.

Tapi pertanyaan yang sama akan tetap muncul:
Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku, atau aku hanya menekan tombol yang sebenarnya sudah diprogram orang lain?

Dan menurutku, kalau sebuah film bisa membuat kita berhenti sejenak, lalu mempertanyakan ulang cara kita menjalani hidup, berarti film itu sudah berhasil.

0 komentar:

Hari ke 23: Menyusun Tinjauan Pustaka dengan ATLAS.ti Desktop: Dari Refleksi ke Praktik

 

Ada masa di mana aku merasa tenggelam dalam lautan literatur. File PDF menumpuk di laptop, catatan berceceran di sticky note, sementara pikiranku tak kunjung rapi. Rasanya aku membaca banyak hal, tapi selalu kesulitan saat harus menghubungkan satu artikel dengan artikel lainnya. Hingga akhirnya aku mengenal ATLAS.ti.

Awalnya, aku mengira software ini hanya untuk penelitian kualitatif berbasis wawancara. Tapi setelah mencobanya, aku sadar bahwa ATLAS.ti juga bisa menjadi sahabat penting untuk menyusun tinjauan pustaka. Ia seperti ruang kerja digital, tempat aku bisa merapikan ide, memberi label pada potongan teks, dan menyambungkan literatur ke dalam peta yang utuh. Dengan ATLAS.ti, aku tidak sekadar membaca, tetapi benar-benar berdialog dengan literatur.

Bayangkan kamu sudah mengumpulkan puluhan artikel jurnal dari Mendeley atau Zotero. Biasanya, artikel itu hanya menumpuk dan jadi koleksi file di folder. Namun ketika dimasukkan ke dalam ATLAS.ti, setiap kalimat penting bisa diberi kode, setiap ide bisa ditandai, dan setiap kata kunci bisa divisualisasikan. Bahkan, ada fitur word cloud yang langsung menampilkan kata apa yang paling sering muncul—sebuah pintu awal untuk melihat pola.

Dan beginilah langkah-langkah yang aku jalani:

1. Membuat proyek baru
Aku memulai dengan membuka ATLAS.ti Desktop dan membuat proyek baru. Rasanya seperti membuka buku catatan kosong yang siap diisi. Semua literatur yang kutemukan kumasukkan ke dalam satu wadah bernama Literature Review S3.

2. Mengimpor dokumen
Semua file PDF dari jurnal kutambahkan ke dalam proyek. Dari sinilah aku merasa seperti punya perpustakaan pribadi yang lebih hidup, karena setiap dokumen bisa langsung dibaca dan dianalisis.

3. Coding kutipan penting
Setiap kali ada kalimat yang relevan, aku sorot lalu kuberi kode. Misalnya, “learning analytics”, “assessment”, atau “technology-enhanced learning”. Kode ini membantu agar ide-ide itu tidak hilang begitu saja.

4. Word Cloud dan Auto Coding
Aku mencoba fitur Word Cloud. Menarik, karena kata-kata dominan langsung muncul dalam bentuk visual. Setelah itu, aku menggunakan auto coding—cukup memasukkan kata kunci, ATLAS.ti otomatis menandai semua kemunculannya di seluruh dokumen. Waktu yang biasanya habis untuk membaca ulang, bisa dihemat.

5. Mengelompokkan kode
Kumpulan kode itu kemudian kususun dalam families atau kubuat dalam network. Hasilnya berupa peta konsep visual—mirip mind map tapi lebih sistematis. Saat melihatnya, aku merasa lebih paham arah kajian.

6. Membuat memo reflektif
Setiap kali menemukan hal penting, aku menulis memo. Isinya bisa berupa catatan pribadi: “temuan ini mirip dengan penelitian A, tapi konteksnya berbeda”. Memo ini ternyata sangat membantu untuk bahan discussion nantinya.

7. Menggunakan AI Tools
Di versi terbaru, ATLAS.ti punya fitur AI. Aku mencoba minta ringkasan artikel, dan lumayan memberi gambaran cepat sebelum membaca penuh. Meski tetap perlu diverifikasi, fitur ini cukup menghemat energi.

8. Mengekspor hasil analisis
Akhirnya, semua kode, memo, dan network bisa diekspor menjadi laporan. Inilah yang nanti bisa menjadi kerangka awal untuk menulis tinjauan pustaka dalam disertasiku.

Refleksi

Bagi aku, ATLAS.ti bukan sekadar software. Ia seperti sahabat sunyi yang membantu merapikan pikiran dan mengubah kekacauan literatur menjadi sesuatu yang lebih jelas. Setiap kode yang kubuat, setiap memo yang kutulis, terasa seperti batu bata yang menyusun fondasi disertasiku nanti.

Proses ini tidak instan. Aku tetap harus membaca, merenung, dan menulis. Tapi dengan ATLAS.ti, aku merasa punya alat yang mendampingi langkahku. Aku belajar bahwa riset bukan hanya tentang menemukan jawaban, melainkan juga tentang bagaimana aku berproses memahami.

Dan itu, buatku, sama berharganya dengan hasil akhir.

0 komentar:

Seri Skripsi 5 – Manajemen Waktu: Skripsi Bukan Lomba Lari Sprint

 

Aku masih ingat betul, salah satu kesalahan terbesarku waktu awal ngerjain skripsi adalah merasa “masih banyak waktu.” Awalnya aku santai, main ke sana-sini, ngopi di kantin sambil bilang ke teman, “Nanti aja, toh deadline masih lama.”

Tapi waktu itu ternyata jalan lebih cepat dari yang kukira. Tiba-tiba sudah harus seminar proposal, bab 3 belum selesai, data belum terkumpul, dan aku baru sadar: panik adalah teman akrab mahasiswa skripsi yang menunda-nunda.

Skripsi Itu Maraton, Bukan Sprint

Sering kali kita terjebak dengan pola pikir “kerja keras mendekati deadline.” Padahal, skripsi itu mirip lari maraton. Kalau langsung digeber di awal atau malah santai banget lalu gaspol di akhir, hasilnya sama-sama buruk: capek, ngos-ngosan, bahkan bisa tumbang di tengah jalan.

Yang dibutuhkan adalah ritme. Langkah kecil tapi konsisten jauh lebih berarti daripada usaha besar yang hanya muncul menjelang akhir.

Belajar Membagi Waktu

Dulu aku pikir manajemen waktu itu ribet. Tapi ternyata sesederhana ini:

  1. Bikin timeline kasar. Misalnya, bulan pertama selesai Bab 1, bulan kedua Bab 2, dan seterusnya. Nggak usah muluk-muluk, cukup realistis sesuai kemampuanmu.

  2. Pecah target besar jadi target kecil. Contoh: jangan langsung menulis “Bab 1 selesai minggu ini.” Tapi pecah: hari ini tulis latar belakang 2 halaman, besok tambahkan kerangka masalah, dan seterusnya.

  3. Sediakan waktu istirahat. Jangan lupa, otakmu bukan mesin. Kadang jeda sejenak justru bikin ide lebih segar.

Refleksi Pribadi

Aku pernah mengalami fase begadang demi mengejar deadline revisi. Saat itu aku merasa “hebat” karena bisa menulis 10 halaman dalam semalam. Tapi setelahnya? Badan drop, pikiran kacau, dan hasil tulisan justru berantakan.

Dari situ aku belajar bahwa skripsi bukan tentang siapa yang paling cepat selesai, melainkan siapa yang bisa menjaga keseimbangan: antara nulis, istirahat, kuliah lain, bahkan kehidupan pribadi.

Skripsi itu memang penting, tapi hidupmu lebih penting lagi.

Kalau sekarang kamu merasa skripsi itu berat, coba lihat kembali cara kamu mengatur waktumu. Jangan menunggu sampai deadline menjerat leher baru panik setengah mati. Mulailah dengan langkah kecil, konsisten, dan nikmati prosesnya.

Karena pada akhirnya, skripsi bukan sekadar lomba lari sprint menuju garis finish. Ia adalah perjalanan maraton yang mengajarkan kita disiplin, sabar, dan tahu kapan harus berlari—dan kapan harus berhenti sejenak untuk bernapas.

Dan percayalah, ritme yang tepat akan membawamu sampai ke garis akhir dengan lebih tenang, tanpa harus ngos-ngosan di ujung jalan.

0 komentar:

Seri Skripsi 4 – Bikin Proposal yang Disukai Dosen Pembimbing

 


Aku masih ingat momen pertama kali menunjukkan proposal skripsi ke dosen pembimbing. Dengan penuh percaya diri, aku serahkan beberapa lembar kertas yang sudah kuketik rapi. Dalam hati, aku yakin dosen akan bilang, “Bagus, kamu bisa lanjut ke tahap berikutnya.”

Tapi kenyataannya? Dosen hanya membaca sebentar, lalu berkata pelan:

“Topikmu menarik, tapi alurnya belum jelas. Coba revisi lagi, ya.”

Rasanya seperti balon yang kempes. Dari situ aku belajar: proposal skripsi bukan sekadar “naskah awal,” tapi pintu pertama menuju penelitian. Kalau pintu ini tidak kokoh, jangan harap perjalananmu akan mulus.

Proposal Itu Bukan Formalitas

Banyak mahasiswa yang menganggap proposal hanya “syarat administrasi.” Yang penting ada Bab 1 sampai Bab 3, lalu bisa maju seminar. Padahal, proposal itu ibarat peta perjalanan. Dari situ, dosen akan menilai:

  • Apakah arah penelitianmu jelas?

  • Apakah kamu tahu ke mana harus melangkah?

  • Apakah jalan yang kamu pilih realistis ditempuh?

Kalau peta saja sudah berantakan, dosen tentu ragu untuk melepasmu melangkah lebih jauh.

Rahasia Proposal yang “Disukai” Dosen

  1. Bab 1 – Latar Belakang yang Mengalir
    Jangan hanya menulis teori kaku. Tunjukkan kenapa masalah itu penting, relevan, dan perlu diteliti. Dosen suka kalau kamu bisa menjawab pertanyaan sederhana: “Kenapa penelitian ini harus ada?”

  2. Bab 2 – Kajian Pustaka yang Terkurasi
    Bukan sekadar menumpuk teori, tapi pilih literatur yang benar-benar mendukung argumenmu. Bayangkan Bab 2 sebagai “fondasi teori” yang menjelaskan kenapa topikmu punya dasar kuat.

  3. Bab 3 – Metodologi yang Realistis
    Kadang mahasiswa terlalu ambisius—ingin metode canggih, sampel besar, atau analisis rumit. Padahal, dosen lebih suka metode yang sederhana tapi jelas bisa dilaksanakan.

Aku pernah berpikir bahwa semakin banyak halaman, semakin meyakinkan proposalku. Tapi ternyata, bukan panjangnya yang membuat dosen puas. Yang membuat mereka tersenyum adalah ketika tulisan kita ringkas, jelas, dan menunjukkan bahwa kita paham apa yang mau diteliti.

Sejak saat itu, aku berhenti mengejar “proposal tebal.” Aku lebih fokus membuatnya runtut dan mudah dipahami. Dan benar saja—revisi dari dosen jauh lebih ringan, bahkan kadang hanya berupa catatan kecil.

Bikin proposal itu memang penuh tantangan. Kadang rasanya seperti menulis ulang berkali-kali tanpa akhir. Tapi percayalah, setiap revisi bukanlah bentuk penolakan, melainkan arahan agar jalanmu lebih terang.

Jadi kalau kamu sedang berkutat dengan proposal, jangan patah semangat. Anggaplah itu latihan pertama untuk menyusun pikiranmu secara sistematis. Karena begitu proposalmu kokoh, langkah-langkah berikutnya akan terasa jauh lebih ringan.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti kamu tersenyum sendiri sambil berkata:

“Ternyata kuncinya cuma satu: bikin proposal yang membuat dosen yakin aku bisa.”

0 komentar:

Seri Skripsi 3 – Strategi Nyari Referensi Tanpa Tersesat di Dunia Google Scholar

 


Ada masa di mana aku pernah duduk lama di depan laptop, membuka Google Scholar, dan mengetik kata kunci: “pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental mahasiswa.” Sekejap, ratusan, bahkan ribuan artikel muncul. Judulnya keren-keren, ada yang panjang banget, ada juga yang terlihat “wah” karena ditulis peneliti luar negeri.

Tapi jujur saja, saat itu aku justru lebih bingung. Dari sekian banyak artikel, mana yang benar-benar bisa kupakai, dan mana yang cuma akan membuat daftar download PDF-ku penuh dengan file yang tidak akan pernah kubaca?

Di awal, aku kira mencari referensi itu sesimpel “yang penting ada bacaan.” Aku sempat asal comot dari Google, bahkan pernah sekali menjadikan blog pribadi orang sebagai rujukan. Baru setelah ditegur dosen pembimbing, aku sadar: referensi itu bukan sekadar formalitas. Ia adalah fondasi. Kalau salah pilih, skripsi kita bisa rapuh sejak awal.

Akhirnya aku belajar pelan-pelan: bagaimana cara mengetik kata kunci yang lebih spesifik, bagaimana menggunakan filter tahun publikasi supaya tidak ketinggalan zaman, bagaimana melihat artikel mana yang sering disitasi orang lain. Rasanya mirip seperti belajar membaca peta di hutan: makin sering tersesat, makin terampil juga menemukan jalan.

Salah satu hal yang bikin refleksi ini kuat adalah kesadaranku bahwa tidak semua tulisan di internet bisa dijadikan referensi. Ada artikel yang terlihat meyakinkan, padahal hanya opini tanpa data. Ada pula yang seolah-olah ilmiah, tapi tidak jelas diterbitkan di mana.

Dari pengalaman itu, aku belajar membedakan:

  • Sumber yang ilmiah: artikel jurnal dengan peer review, buku akademik, laporan lembaga resmi.

  • Sumber yang abal-abal: blog pribadi, artikel clickbait, atau tulisan viral tanpa data.

Sejak saat itu, setiap kali menemukan artikel, aku selalu bertanya dalam hati: “Apakah penulis ini ahli di bidangnya? Apakah ada data atau bukti yang bisa dipercaya?” Kalau jawabannya ragu-ragu, biasanya kutinggalkan.

Sekarang, setiap kali aku membuka Google Scholar, aku tidak lagi sekadar mencari bahan untuk memenuhi daftar pustaka. Aku mencari teman perjalanan yang akan menemaniku sepanjang penulisan skripsi. Referensi bukan lagi sekadar nama penulis dan tahun di dalam kurung, tapi sebuah pijakan yang membuatku merasa lebih percaya diri: “Aku tidak sendirian. Ada banyak penelitian yang sudah mendukung langkahku.”

Dan mungkin itu yang membedakan mahasiswa yang asal comot dengan mereka yang benar-benar menikmati proses riset. Kita belajar untuk lebih kritis, lebih sabar, dan lebih selektif.

Menulis skripsi bukan hanya soal menghasilkan bab demi bab, tapi juga soal bagaimana kita membangun fondasi yang kokoh lewat literatur. Google Scholar bisa jadi hutan rimba yang menyesatkan, atau justru taman ilmu yang menuntun kita pulang—tergantung bagaimana kita memandang dan memanfaatkannya.

Kalau aku boleh memberi pesan ke diriku sendiri di awal perjalanan skripsi dulu: “Jangan terburu-buru. Pilih bacaanmu dengan hati-hati. Karena di balik setiap referensi yang terpercaya, ada rasa tenang bahwa langkahmu menuju skripsi makin mantap.”

0 komentar:

Hari ke 22: Hilang arah di tengah keseibukan

 Sudah hampir sebulan aku menulis di blog ini tentang persiapan menuju S3. Kalau aku lihat lagi jejak tulisan-tulisan sebelumnya, aku merasa seperti sedang bercermin. Ada langkah-langkah yang sudah kutempuh, ada semangat yang kadang membuncah, tapi ada juga bagian yang masih jalan di tempat.

Salah satunya: menghubungi calon promotor. Entah kenapa langkah ini terasa begitu berat. Padahal aku sudah menyiapkan niat, sudah memikirkan topik, sudah mencoba merangkai keberanian. Tapi tetap saja, jari-jari ini enggan menekan tombol “kirim”. Ada rasa ragu, ada takut ditolak, ada juga bayangan bahwa mungkin aku memang belum cukup siap.

Sementara itu, tugas di kampus tidak pernah berkurang. Justru semakin hari terasa semakin bertambah. Persiapan semester baru, rapat-rapat yang menunggu, laporan penelitian yang harus diselesaikan, dan masih banyak lagi. Aku merasa seperti dikejar dari berbagai arah. Sampai-sampai, untuk sekadar menarik napas lega pun rasanya sulit.

Tapi ketika aku menulis ini, aku sadar: mungkin memang begitulah perjalanan menuju mimpi. Tidak selalu mulus, tidak selalu cepat. Kadang harus tersendat, kadang harus berhenti sebentar, bahkan kadang harus mengakui bahwa aku lelah. Dan itu tidak apa-apa.

Karena setiap langkah kecil tetap berarti. Menulis di blog ini pun adalah salah satu bentuk langkah itu—sebuah pengingat bahwa aku masih berusaha, masih berproses. S3 bukan hanya tentang mendaftar dan belajar lagi, tapi juga tentang bagaimana aku belajar bertahan, mengatur waktu, menjaga semangat, dan berdamai dengan rasa lelahku sendiri.

Aku percaya, meski jalannya panjang dan penuh belokan, selama aku tetap melangkah, suatu hari aku akan sampai juga.

0 komentar:

Perspektif Gaji

 Aku sering merenung tentang apa sebenarnya arti dari gaji. Selama ini, kita mungkin terbiasa memandang gaji hanya sebagai angka—sekadar nominal yang ditransfer tiap bulan, lalu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi semakin ke sini, aku menyadari bahwa gaji bukan sekadar angka. Ia adalah bentuk “pengganti” dari banyak hal yang kita berikan.

Gaji adalah pengganti waktu. Berjam-jam yang kita habiskan di kantor, di ruang kelas, atau di klinik, adalah waktu yang tidak bisa kita ulang. Waktu bersama keluarga, waktu untuk diri sendiri, kadang bahkan waktu istirahat, semuanya ditukar dengan pekerjaan. Dan gaji hadir sebagai kompensasi dari waktu itu.

Gaji juga pengganti pikiran. Setiap ide yang kita tuangkan, strategi yang kita susun, keputusan yang kita ambil, bahkan rasa stres yang kita tanggung—semuanya juga termasuk bagian dari harga yang “dibayar” oleh pekerjaan kita. Ada beban mental yang tidak terlihat, tapi ikut dibarter dalam proses itu.

Maka, saat kita bicara tentang bekerja keras dan bekerja cerdas, aku jadi melihatnya begini: bekerja keras berarti kita menukar lebih banyak waktu, lebih banyak tenaga. Tapi bekerja cerdas adalah bagaimana kita bisa menukar pikiran, ide, dan strategi, sehingga hasil yang kita peroleh sebanding dengan nilai yang lebih besar—tanpa harus kehilangan terlalu banyak waktu.

Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku sudah menukar waktu dan pikiranku dengan cara yang tepat? Apakah angka yang kuterima di rekening itu benar-benar sebanding dengan yang kukorbankan? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak selalu mudah dijawab, tapi penting untuk terus aku refleksikan.

Karena pada akhirnya, gaji itu memang pengganti. Tetapi hidup ini bukan semata soal gaji. Ia hanyalah salah satu cara untuk bertahan hidup, sementara kebahagiaan, kesehatan, relasi dengan orang lain, dan ibadah kita—semua itu tidak ternilai dengan angka berapa pun. 

0 komentar:

Seri Skripsi 2 – Menemukan Topik yang Bikin Kamu Betah Ngerjain


Ada satu fase dalam perjalanan skripsi yang bikin banyak mahasiswa stuck lama banget. Fase itu bukan waktu nulis, bukan juga waktu revisi. Tapi… waktu ditanya dosen,

“Topik penelitianmu apa?”

Deg. Pertanyaan sederhana, tapi rasanya seperti dilempar ke tengah jalan raya tanpa peta.

Aku masih ingat cerita teman yang sampai berbulan-bulan cuma mondar-mandir ke perpustakaan, buka Google Scholar tiap malam, tapi tetap bingung. Daftar topik sudah panjang kayak daftar belanjaan, tapi tak satu pun yang dipilih. Ada juga yang lebih “nekat”—asal comot topik karena katanya gampang. Hasilnya? Baru masuk bab tiga sudah pusing tujuh keliling dan ingin menyerah.

Kenapa bisa begitu? Karena topik itu ibarat pasangan perjalanan. Kalau kamu salah pilih, perjalanan panjangmu bakal penuh keluhan. Tapi kalau cocok, meskipun jalannya terjal, kamu masih bisa menikmati langkah demi langkahnya.

Lalu, bagaimana caranya menemukan topik yang benar-benar pas?

Mulailah dengan menengok ke dalam diri. Coba ingat mata kuliah apa yang dulu bikin kamu semangat. Atau isu apa di bidangmu yang bikin kamu penasaran sampai rela googling tengah malam. Kadang topik itu muncul dari hal sederhana—obrolan sama teman, berita yang lewat di timeline, atau masalah sehari-hari yang kamu alami sendiri.

Setelah itu, realistislah. Jangan jatuh cinta pada topik yang terdengar keren tapi mustahil kamu kerjakan. Misalnya, pengin meneliti 1000 responden padahal modal survei saja terbatas. Atau pengin penelitian laboratorium canggih padahal akses alatnya nggak ada. Ingat, skripsi bukan soal siapa paling rumit, tapi siapa paling bisa menuntaskannya.

Dan jangan jalan sendiri. Diskusikan idemu dengan dosen. Kadang kita merasa topik kita sudah oke banget, tapi dosen bisa melihat bagian yang masih terlalu luas atau justru kurang fokus. Percakapan singkat dengan dosen seringkali bisa menyelamatkanmu dari kebuntuan berbulan-bulan.

Satu hal lagi yang sering bikin mahasiswa salah langkah adalah keinginan untuk bikin skripsi yang wah. Seolah-olah skripsi harus jadi penelitian yang menyelamatkan dunia. Padahal kenyataannya, skripsi itu bukan ujung dari segalanya, melainkan pintu masuk. Ia hanya bukti bahwa kamu bisa melakukan penelitian secara benar. Kalau nanti kamu ingin lebih mendalam, ada kesempatan di S2, S3, atau riset berikutnya.

Jadi, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Menentukan topik itu memang butuh waktu, butuh trial and error, tapi bukan berarti mustahil. Anggap saja proses ini seperti mencari teman perjalanan: kenali dirimu, tahu batas kemampuanmu, lalu pilih topik yang membuatmu bisa berkata dalam hati:

“Aku siap, ayo kita jalan bareng sampai akhir.”


0 komentar:

Ketika Bullying Menjadi Narasi yang Terlupakan

 Beberapa hari terakhir aku membaca berita tentang kasus tragis di Malaysia, seorang anak yang diduga menjadi korban bullying hingga nyawanya melayang. Berita ini masih simpang siur, namun tetap saja membuat hati terasa perih. Di waktu yang hampir bersamaan, aku juga menemukan banyak kisah lain tentang anak-anak yang depresi karena menjadi korban bully, bahkan ada yang memilih mengakhiri hidupnya. Rasanya terlalu sering kita mendengar kabar seperti ini, seakan-akan bullying sudah menjadi hal yang biasa terjadi.

Aku lalu bertanya-tanya, mengapa bullying itu ada? Mengapa ada anak atau remaja yang merasa berhak menindas orang lain? Dan mengapa, di sisi lain, korban sering kali hanya diam, menerima, atau tidak berdaya melawan? Bukankah setiap orang punya hak yang sama untuk bicara, untuk didengar, untuk dihargai?

Mungkin bullying tumbuh dari ketidakseimbangan. Pelaku merasa lebih kuat atau ingin terlihat berkuasa, sementara korban terjebak dalam rasa takut dan tidak punya ruang aman untuk melawan. Yang lebih menyedihkan, sering kali orang dewasa di sekitarnya tidak menyadari, atau bahkan menganggap remeh.

Aku jadi berpikir, apa yang bisa dilakukan orang tua? Tidak mudah memang, karena anak-anak sering kali pandai menyembunyikan luka mereka. Kadang mereka terlihat baik-baik saja, padahal di dalamnya penuh kecemasan. Gelagat kecil bisa jadi petunjuk: perubahan sikap, menarik diri dari teman, malas sekolah, atau mudah sakit tanpa alasan jelas. Mungkin di sinilah peran orang tua yang paling penting, hadir sebagai tempat aman bagi anak untuk bercerita.

Aku juga percaya, anak-anak perlu diajarkan sejak dini untuk tidak tumbuh menjadi pembully. Caranya sederhana tapi penting: belajar empati, memahami perasaan orang lain, dan tahu bagaimana mengelola emosi. Sama pentingnya dengan mengajarkan keberanian untuk berkata “tidak”, untuk melawan perlakuan tidak adil, dan untuk mencari bantuan.

Kasus-kasus ini selalu menjadi pengingat betapa berharganya ruang aman bagi anak-anak kita. Bukan hanya di rumah, tapi juga di sekolah, di lingkungan bermain, bahkan di dunia digital. Setiap anak berhak merasakan merdeka—merdeka dari rasa takut, merdeka dari tekanan, merdeka untuk menjadi dirinya sendiri.

0 komentar:

Tentang Nonton Film, Zombie, dan Rasionalisasi

 


Minggu lalu aku menonton film My Daughter is a Zombie di bioskop. Rasanya campur aduk—ada lucunya, ada sedihnya, ada hangatnya juga. Anehnya, meskipun film ini jelas-jelas tidak rasional—mana ada sih anak yang tiba-tiba jadi zombie?—aku bisa betah nonton sampai akhir tanpa banyak protes dalam hati.

Aku kemudian membandingkan dengan pengalaman menonton film Indonesia. Entah kenapa, saat menonton film lokal, pikiranku cenderung sibuk mencari celah. Rasanya aku terlalu cepat menghakimi: “Ah, itu kurang nyambung.” atau “Masa iya begitu jalannya cerita?” Padahal, kalau dipikir-pikir, film dengan zombie pun jelas lebih tidak masuk akal, tapi aku bisa menerimanya dengan mudah.

Aku jadi bertanya pada diriku sendiri: kenapa ya begitu?

Mungkin karena film zombie dari awal memang ditawarkan sebagai fiksi penuh fantasi. Dari awal aku sudah diajak untuk masuk ke dunia yang berbeda, dunia yang memang tidak masuk logika sehari-hari. Jadi, aku pun menonton dengan pikiran terbuka, siap menerima apa pun yang ditampilkan.

Sementara film Indonesia sering mengambil latar realitas yang dekat dengan hidup kita sehari-hari. Karena terlalu dekat, aku merasa harus merasionalkan ceritanya. Aku merasa ada standar tertentu: “Kalau ceritanya tentang kehidupan orang Indonesia, maka harus masuk akal sesuai pengalamanku.” Ketika ada yang tidak nyambung, aku langsung terganggu.

Padahal, film—apa pun asalnya—selalu punya ruang imajinasi. Tidak semua hal harus dirasionalkan. Tidak semua cerita harus cocok dengan realita kita. Kadang, justru keindahan film ada pada keberaniannya melampaui logika, dan membuat kita merasakan sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam hidup nyata.

Mungkin aku perlu belajar menonton dengan hati yang lebih terbuka, tanpa selalu membawa kacamata “logika” yang kaku. Karena kadang, cerita yang paling menyentuh justru lahir dari hal-hal yang tidak masuk akal, tapi berhasil membuat kita tertawa, menangis, atau sekadar merasa “terhubung”.

0 komentar:

80 Tahun Indonesia Merdeka: Merdeka dalam Versi Diriku




Hari ini, Indonesia genap berusia 80 tahun. Angka yang besar, tanda perjalanan panjang sebuah bangsa. Aku jadi teringat, ketika kecil kemerdekaan selalu identik dengan lomba 17-an: tarik tambang, panjat pinang, makan kerupuk. Semua seru, semua penuh tawa. Tapi sekarang, di usia yang semakin dewasa, aku mulai merenung—apa sebenarnya makna merdeka di hari ini?


Dulu, merdeka berarti bebas dari penjajahan. Namun hari ini, arti merdeka lebih luas. Merdeka berarti berdaulat atas pikiran, pilihan, dan arah hidup kita. Merdeka bukan hanya tentang bangsa, tapi juga tentang diri sendiri: bagaimana aku bisa jujur pada panggilan hati, bagaimana aku bisa berkarya tanpa merasa terikat oleh rasa takut, dan bagaimana aku bisa terus memberi manfaat melalui profesiku sebagai dokter dan dosen.


Indonesia memang sudah maju. Aku bisa melihat itu dari kampusku: akses teknologi semakin mudah, mahasiswa bisa belajar dari berbagai sumber digital, bahkan riset-riset kesehatan mulai menggandeng data besar dan teknologi analitik. Tapi di sisi lain, aku juga melihat PR besar. Masih ada kesenjangan antara mereka yang mudah mengakses ilmu dengan mereka yang terbatas. Masih ada masalah literasi, baik literasi kesehatan, literasi digital, maupun literasi keuangan.


Sebagai dokter, aku melihat kemerdekaan dari sisi kesehatan: merdeka berarti masyarakat punya akses untuk hidup sehat, bukan hanya terbebas dari penyakit tapi juga sadar untuk menjaga dirinya. Sebagai dosen, aku melihat kemerdekaan dari sisi pendidikan: merdeka berarti mahasiswa punya ruang untuk tumbuh, bereksperimen, dan belajar dengan caranya sendiri, tanpa selalu terikat kaku pada aturan yang membatasi kreativitas.


Aku juga tak bisa menutup mata pada kondisi alam kita. Indonesia kaya raya, tapi juga rapuh jika salah kelola. Aku sering merasa cemas melihat gunung sampah, polusi udara, dan kerusakan lingkungan yang makin terasa dampaknya pada kesehatan. Di sini aku merasa, merdeka juga berarti berani mengubah kebiasaan kecil dalam hidup sehari-hari. Sesederhana memilah sampah rumah tangga, mengurangi plastik sekali pakai, atau memilih jalan kaki saat memungkinkan.


Bagi aku, makna merdeka yang paling dalam adalah kemerdekaan batin. Merdeka dari rasa minder saat melihat orang lain lebih dulu mencapai sesuatu. Merdeka dari pikiran negatif yang menghambat langkahku mendaftar S3. Merdeka dari rasa takut gagal, karena aku percaya setiap langkah—meski kecil—akan dibimbing oleh Allah.


80 tahun Indonesia merdeka, aku ingin bertanya pada diriku: sudahkah aku benar-benar merdeka? Jawabannya mungkin belum sepenuhnya. Tapi aku sedang berproses. Dengan terus menulis, terus belajar, terus mengajar, aku sedang melatih diriku untuk lebih merdeka—dari dalam.

0 komentar:

Masih Adakah yang Baca Blog?

 


Kadang aku bertanya-tanya, masih adakah orang yang membaca blog di zaman serba cepat seperti sekarang? Dunia media sosial begitu riuh: ada TikTok yang menyajikan video singkat, ada Instagram dengan reels dan stories, ada YouTube yang penuh konten visual. Semua berlomba memperebutkan perhatian dalam hitungan detik.


Lalu, blog? Bukankah orang sudah malas membaca tulisan panjang?


Tapi kemudian aku sadar, blog masih punya tempatnya sendiri. Ia bukan lagi sekadar tempat curhat ala tahun 2000-an, melainkan rumah digital—tempat semua cerita dan catatan tersimpan dengan rapi, tak mudah tenggelam di arus algoritma. Kalau postingan Instagram bisa hilang di timeline, tulisan blog bisa ditemukan bertahun-tahun kemudian lewat Google.


Blog juga memberi ruang untuk bernapas panjang. Di sana aku bisa menuliskan refleksi, pengalaman, atau tutorial tanpa dibatasi durasi. Pembaca yang datang ke blog pun biasanya lebih fokus, lebih ingin belajar, atau memang mencari jawaban. Mereka berbeda dengan audiens yang sekadar lewat di TikTok.


Aku mulai melihat pola: media sosial bisa jadi pintu masuk, sementara blog tetap jadi rumah utama. Orang bisa mengenal tulisanku lewat reels singkat atau video pendek, lalu kalau tertarik, mereka akan mampir ke blog untuk membaca versi lengkapnya.


Jadi, aku tidak lagi mempertentangkan blog dengan media sosial. Keduanya saling melengkapi. Blog memberi kedalaman, media sosial memberi jangkauan.


Pertanyaan “masih adakah yang baca blog?” akhirnya kujawab sendiri: ada, asalkan aku mau merawatnya.



0 komentar:

Meluangkan Waktu Membentuk Habit

 Pagi hari selalu menjadi waktu yang paling aku tunggu. Bukan karena pagiku benar-benar luang, tapi karena aku sengaja meluangkan waktu untuknya. Bangun jam 4.30, lalu sholat malam dan Subuh, kemudian jalan pagi sekitar 15–30 menit. Itu bukan waktu yang datang dengan sendirinya, melainkan waktu yang aku ambil dari kemungkinan tidur lebih lama. Tapi dari sana aku menemukan ketenangan. Menatap langit pagi yang warnanya selalu berbeda, dan mensyukuri bahwa aku masih diberi kesempatan untuk melihatnya.

Hal yang sama terjadi dengan menulis blog ini. Kalau menunggu waktu luang, mungkin tulisan-tulisan ini tidak akan pernah terwujud. Selalu ada alasan: tugas kampus, rapat, penelitian, praktik di klinik. Tapi aku memilih meluangkan waktu meski hanya satu jam di malam hari untuk menulis. Rasanya lega, karena menulis bukan sekadar aktivitas, tapi cara merawat diri dan menyimpan jejak perjalanan hidupku.

Begitu juga dengan persiapan S3. Targetku adalah latihan TOEFL dan SIMAK UI. Aku tahu waktuku sempit, tapi aku bisa menyelipkan 20–30 menit setiap hari untuk latihan. Tidak menunggu libur panjang, tidak menunggu semua pekerjaan selesai, tapi mengambil waktu kecil-kecil yang jika dikumpulkan akan menjadi bekal besar.

Melihat kembali, aku menyadari bahwa esensi “meluangkan waktu” memang sederhana: meletakkan sesuatu sebagai prioritas, meski kecil, meski sebentar, tapi konsisten. Itulah yang membuat hidup tetap seimbang di tengah kesibukan.

Dan mungkin, inilah yang membedakan antara orang yang sekadar sibuk dengan orang yang terus bertumbuh: keberanian untuk meluangkan waktu bagi hal-hal yang benar-benar penting bagi dirinya.

0 komentar:

Waktu Luang dan Meluangkan Waktu

 

Kadang aku bertanya pada diri sendiri: apakah aku benar-benar punya waktu luang, atau sebenarnya aku hanya pandai menciptakan alasan bahwa waktuku habis untuk hal-hal lain?

Dalam keseharian, kita sering merasa sibuk. Ada rapat, ada pekerjaan kampus, ada praktik, ada riset, ada urusan rumah. Seakan-akan waktu luang itu barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang. Tapi kalau dipikir ulang, mungkin masalahnya bukan pada ada atau tidaknya waktu luang, melainkan pada pilihan meluangkan waktu.

Waktu luang sering kali kita tunggu. Kita menunggu pekerjaan selesai, menunggu tidak ada deadline, menunggu hari lebih tenang. Sayangnya, waktu yang benar-benar “luang” jarang datang. Selalu ada saja pekerjaan baru yang muncul, kebutuhan baru yang mendesak. Akhirnya, waktu luang hanya jadi konsep yang samar.

Sebaliknya, meluangkan waktu adalah tindakan sadar. Kita yang memilih: untuk berhenti sejenak, untuk duduk membaca meski hanya 10 menit, untuk menulis jurnal di tengah malam meski ada pekerjaan yang belum rampung, untuk berdoa di sela-sela kesibukan. Meluangkan waktu berarti menegaskan bahwa ada hal-hal yang tetap penting meski dikejar kesibukan.

Esensinya, waktu luang adalah soal kesempatan, sementara meluangkan waktu adalah soal prioritas. Dan prioritas itulah yang pada akhirnya membentuk siapa kita.

Aku jadi belajar untuk tidak menunggu waktu luang. Kalau aku ingin menulis, aku menulis. Kalau aku ingin berdoa lebih lama, aku sisihkan waktunya. Kalau aku ingin sekadar menatap langit pagi, aku berhenti sejenak meski ada jadwal padat. Di situlah aku merasa lebih damai, karena waktu bukan lagi sesuatu yang “ditinggalkan” oleh kesibukan, tapi sesuatu yang bisa aku kelola sesuai arah hidup yang aku pilih.

Mungkin, pada akhirnya, hidup ini bukan tentang punya banyak waktu, tapi tentang apa yang kita pilih untuk kita luangkan waktu demi itu.

0 komentar:

Hari ke-21: Menyusun Kembali Semangat di Tengah Kesibukan

 


Ada satu hal yang sering aku rasakan setiap kali memasuki masa-masa krusial: waktu terasa semakin cepat berjalan. Rasanya baru kemarin aku berkata, “Masih ada waktu,” tapi hari ini aku sadar, September tinggal menghitung minggu. Dan di bulan itu, semuanya akan tumpang tindih: semester baru dimulai, modul pertama yang aku pegang akan berjalan, rapat-rapat persiapan mengajar tak terhindarkan, laporan kemajuan hibah penelitian harus masuk, dan di sela-selanya aku harus mencuri waktu untuk latihan TOEFL—sementara ujian SIMAK UI bahkan belum sempat aku sentuh.

Aku sempat terpaku memandangi to-do list di buku catatan. Panjang sekali. Dan jujur saja, ada rasa ingin menyerah. Tapi lalu aku ingat: aku sudah terlalu jauh untuk mundur.

Maka, aku memutuskan untuk mengatur ulang strategiku. Alih-alih menunggu waktu luang (yang mungkin tidak akan pernah datang), aku memilih membuat ruang. Aku pecah semua target besar menjadi langkah kecil:

  • Latihan TOEFL minimal 20 menit sehari, bukan satu jam sekaligus.

  • Membaca kisi-kisi SIMAK UI satu topik setiap malam, meskipun hanya 15 menit sebelum tidur.

  • Menyicil laporan hibah penelitian sedikit demi sedikit, tidak menunggu sampai “nanti kalau sempat”.

  • Menentukan satu hari dalam seminggu untuk fokus penuh ke persiapan S3, tanpa rapat atau klinik.

Aku tahu ini tidak akan mudah. Akan ada hari di mana aku lelah dan tergoda untuk melewatkan satu sesi latihan. Tapi aku percaya, konsistensi kecil akan membawa hasil yang besar.

Yang lebih penting, aku ingin masuk ke ruang ujian SIMAK UI nanti dengan hati yang tenang. Bukan karena aku yakin semua soal bisa dijawab, tapi karena aku tahu aku sudah melakukan yang terbaik di waktu yang aku punya.

September mungkin akan menjadi bulan yang padat, tapi aku memilih untuk melihatnya sebagai bulan pembuktian. Pembuktian bahwa di tengah kesibukan mengajar, mengelola penelitian, dan praktik di klinik, aku tetap bisa menjaga komitmen untuk mengejar mimpi.

Dan setiap kali rasa malas atau lelah datang, aku akan mengingat satu hal: S3 ini bukan sekadar gelar. Ini adalah perjalanan yang akan membentukku, menguji kesabaranku, dan (semoga) membuka jalan yang lebih luas untuk memberi manfaat.

0 komentar:

Menyiapkan Diri untuk Menjual Buku di Google Play Books

 


Beberapa waktu terakhir, aku sering berpikir: bagaimana kalau buku atau tulisanku bisa dibaca orang di berbagai belahan dunia? Tidak hanya lewat blog atau media sosial, tapi dalam bentuk buku digital yang rapi, yang bisa diunduh, dibaca kapan saja, dan—siapa tahu—menghasilkan pendapatan tambahan.

Pilihan itu mengarah ke Google Play Books. Platform ini ada di hampir semua ponsel Android, jangkauannya luas, dan memberi kesempatan bagi penulis untuk mempublikasikan karya mereka sendiri. Rasanya seperti membuka jendela baru ke dunia yang lebih luas.

Tapi tentu saja, aku tidak mau melangkah tanpa bekal. Maka, aku mulai mempelajari langkah-langkahnya. Ternyata, prosesnya tidak hanya soal mengunggah naskah. Ada tahap registrasi di Google Play Books Partner Center, mengisi profil penerbit, melengkapi data pembayaran, sampai urusan pajak internasional.

Kemudian, ada pekerjaan teknis yang harus dikerjakan dengan hati-hati:

  • Menyiapkan naskah dalam format PDF atau EPUB. EPUB membuat tampilan lebih fleksibel di layar pembaca, sementara PDF mempertahankan tata letak persis seperti aslinya.

  • Membuat cover dengan resolusi tinggi, karena ini wajah pertama buku kita di etalase Google Play.

  • Menulis deskripsi buku yang bukan sekadar ringkasan, tapi undangan bagi pembaca untuk “masuk” ke dalam cerita.

Aku membayangkan momen nanti ketika klik “Terbitkan” untuk pertama kalinya. Mungkin ada rasa campur aduk: bangga, deg-degan, dan penasaran. Tapi sebelum sampai ke sana, aku ingin memastikan semua persiapan dilakukan dengan baik—supaya hasilnya memuaskan, bukan hanya untuk pembaca, tapi juga untukku sebagai penulis.

Untuk saat ini, aku masih di tahap belajar. Mencatat setiap langkah, memetakan timeline, dan membayangkan strategi promosi setelah buku rilis. Mungkin ini akan jadi salah satu proyek yang menantang, tapi aku percaya proses ini akan mengajarkan banyak hal, bukan hanya soal menjual buku, tapi juga soal mengenal diri sendiri sebagai penulis.

Siapa tahu, suatu hari nanti, saat orang membuka Google Play Books dan mengetikkan judul buku, namaku akan muncul di sana. Dan perjalanan ini—yang dimulai dari niat dan rasa penasaran—akan menjadi bab indah dalam kisah menulis yang terus berlanjut.

Berikut cara yang aku pelajari dan mau aku coba praktikkan:

1️⃣ Daftar di Google Play Books Partner Center

  • Buka situs: https://play.google.com/books/publish/

  • Login menggunakan akun Google milikmu.

  • Lengkapi profil penerbit, termasuk:

    • Nama penerbit / penulis

    • Alamat

    • Informasi pembayaran

    • Pajak (formulir pajak W-8BEN jika kamu di luar AS, termasuk Indonesia).

⚠️ Catatan: Google akan memverifikasi akun ini. Prosesnya bisa memakan waktu beberapa hari.

2️⃣ Siapkan Naskah Buku dalam Format yang Diterima

Google Play Books menerima:

  • PDF → mempertahankan layout persis seperti aslinya

  • EPUB → format e-book yang fleksibel dan responsif di berbagai ukuran layar

Tips:
Kalau ingin tampilan rapi di semua perangkat, siapkan versi EPUB menggunakan software seperti Sigil atau Calibre, lalu sertakan juga PDF sebagai cadangan.

3️⃣ Siapkan Metadata Buku

  • Judul dan subjudul

  • Nama penulis

  • Deskripsi buku (buat yang menarik untuk pembaca)

  • Kategori dan genre

  • Kata kunci agar buku mudah ditemukan

  • Harga buku (Google memungkinkan harga berbeda untuk tiap negara)

💡 Google Play biasanya membagi hasil penjualan sekitar 70% untuk penulis dan 30% untuk Google.

4️⃣ Upload Buku

  • Masuk ke Partner Center → Buku → Tambah Buku Baru

  • Pilih Identifikasi Buku: gunakan ISBN jika punya, atau biarkan Google memberi ID buku gratis.

  • Upload file buku (PDF &/atau EPUB) + cover (JPG/PNG resolusi tinggi).

  • Isi metadata yang sudah disiapkan.

  • Tentukan harga jual dan wilayah distribusi.

5️⃣ Publikasikan

  • Setelah semua data terisi dan file sudah diverifikasi, klik Terbitkan.

  • Google akan meninjau file dan metadata. Biasanya buku akan muncul di Google Play Store dalam waktu 1–2 hari kerja.

6️⃣ Pantau Penjualan & Pembayaran

  • Kamu bisa memantau laporan penjualan di Partner Center → Laporan.

  • Pembayaran akan dikirimkan ke rekening yang kamu daftarkan, sesuai ambang minimal pembayaran dan jadwal Google (biasanya tiap bulan).

0 komentar:

Seri Skripsi 1 – Kenalan Dulu Sama Skripsi: Musuh atau Sahabat?

 

Bayangkan kamu sedang duduk santai di kantin kampus, menyeruput es teh manis, tiba-tiba ada teman yang nyeletuk,

“Eh… semester depan udah skripsi, lho!”

Detik itu juga, dada langsung berdebar, pikiran campur aduk: takut, bingung, malas, plus sedikit panik.
Padahal, jujur aja, skripsi itu bukan monster yang datang buat menghancurkan hidupmu. Dia cuma proyek akhir—tugas terakhir yang membuktikan kamu sudah layak menyandang gelar sarjana.

Kenapa Banyak Mahasiswa Takut Sama Skripsi?

Salah satu alasannya: mitos yang diwariskan dari kakak tingkat.
Ada yang bilang “skripsi itu bikin rambut rontok”, “bikin lingkar mata segede bakso”, atau “skripsi itu ujian kesabaran hidup”.
Ya… mungkin memang menantang, tapi kalau kita lihat dari sudut yang tepat, skripsi justru bisa jadi ajang show off kemampuan kita.

Bayangin deh: kamu menghabiskan 3–4 tahun kuliah, mengumpulkan ilmu dan pengalaman, lalu di skripsi inilah semua itu dirangkai jadi satu karya ilmiah yang made by you.

Ubah Sudut Pandang: Skripsi = Sahabat

Kuncinya ada di mindset.
Kalau kamu anggap skripsi itu “musuh”, setiap kali buka laptop pasti rasanya berat.
Tapi kalau kamu anggap dia “sahabat”, kamu akan lebih santai menjalaninya.

Sahabat memang kadang bikin bete (revisi, deadline), tapi juga selalu memberi manfaat (pengetahuan baru, skill penelitian, pengalaman presentasi).

Tips Awal Biar Nggak Keder

  1. Cari alasan pribadimu kenapa harus menuntaskan skripsi. Misalnya: biar cepat lulus, biar orang tua bangga, atau biar bisa pakai toga di wisuda.

  2. Bagi proses jadi langkah kecil. Jangan lihat skripsi sebagai satu gunung besar—lihat dia sebagai tanjakan kecil yang diselesaikan tahap demi tahap.

  3. Siapkan mindset petualang. Anggap skripsi ini perjalanan, bukan hukuman. Nikmati prosesnya.

ukan akhir dunia, tapi justru gerbang menuju babak baru dalam hidupmu.
Jadi, sebelum mulai menulis, kenalanlah dulu. Pahami dia, atur strategi, dan yakini bahwa kamu bisa menaklukkannya.

Karena di ujung perjalanan nanti, akan ada momen kamu berdiri di depan dosen penguji, tersenyum, dan berkata dalam hati:

“Akhirnya… kita berhasil juga, Sahabat.”

0 komentar:

Catatan Perjalananku Mengisi SKP di Platform Kemenkes

 


Mengisi SKP itu ibarat merapikan lembar-lembar perjalanan profesi kita. Setiap seminar, pelatihan, publikasi, bahkan kegiatan pengabdian yang pernah diikuti, semuanya seperti puzzle yang jika dirangkai akan menunjukkan jejak langkah kita sebagai tenaga medis.

Beberapa hari lalu, aku membuka skp.kemkes.go.id. Sejujurnya, awalnya agak malas—terbayang harus mencari sertifikat lama, membuka folder demi folder, bahkan mungkin mengorek arsip email. Tapi ternyata, begitu duduk tenang dan membuka halaman Formulir Pengisian, ada rasa semangat yang muncul.

Di layar, muncul tiga ranah besar: Pembelajaran, Profesionalisme, dan Pengabdian Masyarakat. Rasanya seperti membuka album foto, tapi isinya adalah momen-momen profesional. Ada sertifikat seminar yang dulu aku ikuti sambil lembur mengoreksi ujian mahasiswa. Ada laporan penelitian yang penuh perjuangan revisi. Ada publikasi yang rasanya seperti “anak” sendiri karena prosesnya panjang.

Mengisi SKP bukan sekadar formalitas. Setiap kali mengunggah sertifikat atau laporan, aku seperti sedang berkata pada diriku sendiri, “Lihat, kamu sudah melangkah sejauh ini.”

Hari itu, setelah semua bukti terunggah, aku menutup laptop dengan perasaan lega. Seperti selesai membereskan kamar yang berantakan, hati jadi lapang. SKP memang kewajiban, tapi bagi aku, ini juga jadi cara untuk mensyukuri setiap langkah kecil yang sudah diambil di jalan panjang profesi ini.

Dan aku jadi sadar, bahwa mengelola SKP itu bukan hanya soal mengumpulkan poin untuk perpanjangan STR atau memenuhi kewajiban administratif. Lebih dari itu, ini adalah rekam jejak dedikasi. Setiap file yang kuunggah adalah saksi bahwa aku pernah hadir, pernah belajar, pernah berkontribusi.

Supaya proses ini tidak membuat kita kewalahan, aku mulai menerapkan beberapa kebiasaan kecil:

  1. Buat folder khusus SKP di laptop dan cloud (Google Drive atau Dropbox) dengan sub-folder per tahun.

  2. Langsung simpan sertifikat atau bukti kegiatan setelah acara selesai, jangan menunggu.

  3. Beri nama file yang jelas, misalnya “Seminar_Gizi_20Feb2024_SKP.pdf” agar mudah dicari.

  4. Set reminder di Google Calendar setiap akhir bulan untuk mengecek kegiatan apa saja yang perlu diinput.

Akhirnya, mengisi SKP tidak lagi jadi pekerjaan musiman yang bikin stres menjelang tenggat waktu, tapi berubah menjadi rutinitas kecil yang menjaga kita tetap tertib dan menghargai proses.

Karena pada akhirnya, setiap sertifikat, publikasi, atau laporan yang kita kumpulkan bukan sekadar angka SKP—ia adalah potret dedikasi, bukti bahwa kita terus bergerak, belajar, dan memberi manfaat

0 komentar: