Ada masa di mana aku merasa tenggelam dalam lautan literatur. File PDF menumpuk di laptop, catatan berceceran di sticky note, sementara pikiranku tak kunjung rapi. Rasanya aku membaca banyak hal, tapi selalu kesulitan saat harus menghubungkan satu artikel dengan artikel lainnya. Hingga akhirnya aku mengenal ATLAS.ti.
Awalnya, aku mengira software ini hanya untuk penelitian kualitatif berbasis wawancara. Tapi setelah mencobanya, aku sadar bahwa ATLAS.ti juga bisa menjadi sahabat penting untuk menyusun tinjauan pustaka. Ia seperti ruang kerja digital, tempat aku bisa merapikan ide, memberi label pada potongan teks, dan menyambungkan literatur ke dalam peta yang utuh. Dengan ATLAS.ti, aku tidak sekadar membaca, tetapi benar-benar berdialog dengan literatur.
Bayangkan kamu sudah mengumpulkan puluhan artikel jurnal dari Mendeley atau Zotero. Biasanya, artikel itu hanya menumpuk dan jadi koleksi file di folder. Namun ketika dimasukkan ke dalam ATLAS.ti, setiap kalimat penting bisa diberi kode, setiap ide bisa ditandai, dan setiap kata kunci bisa divisualisasikan. Bahkan, ada fitur word cloud yang langsung menampilkan kata apa yang paling sering muncul—sebuah pintu awal untuk melihat pola.
Dan beginilah langkah-langkah yang aku jalani:
1. Membuat proyek baru
Aku memulai dengan membuka ATLAS.ti Desktop dan membuat proyek baru. Rasanya seperti membuka buku catatan kosong yang siap diisi. Semua literatur yang kutemukan kumasukkan ke dalam satu wadah bernama Literature Review S3.
2. Mengimpor dokumen
Semua file PDF dari jurnal kutambahkan ke dalam proyek. Dari sinilah aku merasa seperti punya perpustakaan pribadi yang lebih hidup, karena setiap dokumen bisa langsung dibaca dan dianalisis.
3. Coding kutipan penting
Setiap kali ada kalimat yang relevan, aku sorot lalu kuberi kode. Misalnya, “learning analytics”, “assessment”, atau “technology-enhanced learning”. Kode ini membantu agar ide-ide itu tidak hilang begitu saja.
4. Word Cloud dan Auto Coding
Aku mencoba fitur Word Cloud. Menarik, karena kata-kata dominan langsung muncul dalam bentuk visual. Setelah itu, aku menggunakan auto coding—cukup memasukkan kata kunci, ATLAS.ti otomatis menandai semua kemunculannya di seluruh dokumen. Waktu yang biasanya habis untuk membaca ulang, bisa dihemat.
5. Mengelompokkan kode
Kumpulan kode itu kemudian kususun dalam families atau kubuat dalam network. Hasilnya berupa peta konsep visual—mirip mind map tapi lebih sistematis. Saat melihatnya, aku merasa lebih paham arah kajian.
6. Membuat memo reflektif
Setiap kali menemukan hal penting, aku menulis memo. Isinya bisa berupa catatan pribadi: “temuan ini mirip dengan penelitian A, tapi konteksnya berbeda”. Memo ini ternyata sangat membantu untuk bahan discussion nantinya.
7. Menggunakan AI Tools
Di versi terbaru, ATLAS.ti punya fitur AI. Aku mencoba minta ringkasan artikel, dan lumayan memberi gambaran cepat sebelum membaca penuh. Meski tetap perlu diverifikasi, fitur ini cukup menghemat energi.
8. Mengekspor hasil analisis
Akhirnya, semua kode, memo, dan network bisa diekspor menjadi laporan. Inilah yang nanti bisa menjadi kerangka awal untuk menulis tinjauan pustaka dalam disertasiku.
Refleksi
Bagi aku, ATLAS.ti bukan sekadar software. Ia seperti sahabat sunyi yang membantu merapikan pikiran dan mengubah kekacauan literatur menjadi sesuatu yang lebih jelas. Setiap kode yang kubuat, setiap memo yang kutulis, terasa seperti batu bata yang menyusun fondasi disertasiku nanti.
Proses ini tidak instan. Aku tetap harus membaca, merenung, dan menulis. Tapi dengan ATLAS.ti, aku merasa punya alat yang mendampingi langkahku. Aku belajar bahwa riset bukan hanya tentang menemukan jawaban, melainkan juga tentang bagaimana aku berproses memahami.
Dan itu, buatku, sama berharganya dengan hasil akhir.
0 komentar: