Hari 1 – Mengapa Aku Ingin S3?

 


Duduk di meja kerja, dikelilingi tumpukan dokumen akreditasi dan rencana pembelajaran semester depan, tiba-tiba aku terdiam cukup lama. Bukan karena lelah, tapi karena sebuah pertanyaan sederhana mengetuk pikiranku: Apakah aku akan begini terus? Apakah ruang berkarya dan belajar bagiku hanya berhenti di sini?

Beberapa tahun terakhir, aku memang sudah cukup nyaman berada di titik ini: mengajar, meneliti, menulis laporan, mengikuti pelatihan, memberi pelatihan. Tapi pelan-pelan aku menyadari, ada ruang kosong yang tak bisa ditutupi dengan sekadar aktivitas. Rasanya seperti punya ide besar tapi tak punya alat untuk merumuskannya dengan utuh. Aku ingin lebih dari sekadar jadi pelaksana kurikulum—aku ingin memahami mengapa kurikulum itu lahir, bagaimana ia seharusnya dibentuk, dan untuk siapa ia sebenarnya bekerja.

Hasrat itu datang tidak tiba-tiba. Ia tumbuh dari banyak momen kecil: ketika membimbing mahasiswa yang hampir menyerah menjelang UKMPPD, ketika berdiskusi tentang metode asesmen yang adil, atau saat mencoba menjelaskan sesuatu dalam kelas lalu merasa "kok caraku menjelaskan tidak efektif, ya?" Aku sadar, aku butuh belajar lagi. Bukan sekadar belajar teknis, tapi belajar secara sistematis dan ilmiah tentang dunia pendidikan kedokteran yang selama ini kujalaninya setengah sadar, setengah naluriah.

Mendaftar S3 di FK UI bukan perkara ambisi, apalagi status. Ini tentang kembali menjadi murid, dengan tujuan yang lebih jernih. Aku ingin membangun pondasi berpikir yang kuat, agar bisa menjadi pendidik yang tak hanya tahu "apa", tapi juga mengerti "mengapa" dan "bagaimana". FK UI, dengan segala reputasinya, menjadi pilihan yang masuk akal—bukan hanya karena nama besar, tapi karena di sana aku melihat adanya ruang untuk berdialog tentang pendidikan kedokteran sebagai disiplin ilmu, bukan sekadar aktivitas administratif.

Hari ini aku mulai menulis kembali, bukan karena aku sudah siap, tapi karena aku ingin menyusun perjalananku pelan-pelan. Mungkin lewat menulis ini, aku bisa memetakan keraguan, mengolah harapan, dan mencicil langkah-langkah yang perlu kutempuh. Dan siapa tahu, tulisan ini juga bisa menjadi pengingat—bahwa dulu aku pernah begitu yakin ingin belajar lagi.

0 komentar: