Hari 3 – Mengapa FKUI Lagi?

 

Menulis tentang FKUI bukan sekadar tentang kampus, tapi tentang rumah tempat aku pernah bertumbuh. Rasanya seperti menulis surat cinta kepada masa lalu yang masih menunggu disempurnakan.

Aku adalah alumni magister pendidikan kedokteran FKUI. Di sana aku belajar bahwa menjadi pendidik bukan hanya soal bisa menjelaskan sesuatu dengan baik, tapi tentang bagaimana memahami proses belajar itu sendiri—dalam segala kerumitannya. FKUI tidak sekadar memberiku ijazah. Ia membentuk cara pandangku, memperkenalkanku pada konsep-konsep yang sebelumnya terasa asing, dan perlahan-lahan mengubah cara aku melihat ruang kelas, mahasiswa, bahkan diriku sendiri.

Maka ketika aku berpikir untuk melanjutkan studi S3, pikiranku kembali ke FKUI. Bukan karena sekadar nyaman dengan yang dikenal, tapi karena aku tahu kualitas yang akan kudapat. Di sana ada nama-nama yang dulu hanya kubaca dari buku dan jurnal, yang kini aku tahu bisa kujangkau sebagai pembimbing—kalau aku benar-benar siap.

Aku pernah menghubungi Prof. Ardi Findyartini. Beliau adalah salah satu sosok yang aku kagumi sejak S2. Cerdas, hangat, dan tajam secara ilmiah. Ketika aku memberanikan diri menyampaikan niat untuk menjadikan beliau sebagai promotor, aku diterima dengan baik. Tapi kemudian, datanglah pertanyaan yang membuatku terdiam. Pertanyaan yang sederhana, tapi menusuk: tentang kesiapan, arah riset, dan kontribusi ilmiah.

Saat itu, aku bingung menjawabnya. Mungkin memang aku belum siap. Atau aku belum cukup jujur pada diriku sendiri tentang seberapa kuat aku ingin ini semua terjadi. Komunikasi itu berhenti, dan aku menarik diri perlahan. Tidak karena kecewa, tapi karena aku tahu, jawaban setengah hati tidak akan bisa membawa seseorang melewati perjalanan S3 yang panjang dan menantang.

Di tengah niat untuk kembali bangkit, aku justru dihadapkan dengan amanah besar: menyukseskan akreditasi di institusi tempatku mengabdi. Malam-malam panjang, diskusi dengan tim, dokumen tak berujung, tanggung jawab sebagai dosen dan pimpinan—semuanya datang bersamaan. Rasanya seperti semesta sedang berkata: “Tunda dulu. Ada tugas lain yang lebih mendesak.”

Dan aku menurut. Bukan menyerah, tapi menyimpan keinginan itu baik-baik dalam hati. Karena bagiku, menyukseskan akreditasi bukanlah sekadar pekerjaan administratif. Itu bagian dari tanggung jawab akademik yang harus aku jalani dengan sepenuh hati, sama seperti aku ingin menjalani studi S3 suatu hari nanti.

Hari ini, ketika aku menulis ini, aku tahu satu hal: keinginan itu belum padam. Ia hanya menunggu waktu yang lebih tepat. Dan FKUI, kampus yang pernah menemaniku belajar dulu, masih tetap menjadi tujuan yang ingin aku tuju lagi—bukan karena nostalgia, tapi karena keyakinan.

0 komentar: