Infak di jalan raya

 

sumber gambar dari www.antaranews.com



Hari ini aku melewati sebuah jalan raya di depan masjid besar. Di sisi jalan, seorang laki-laki berdiri membawa kotak bertuliskan "Infak Pembangunan Masjid". Ia melambaikan tangan ke arah setiap kendaraan yang lewat. Aku perhatikan: yang lewat tidak semuanya menoleh. Ada yang membuka kaca dan menyumbang, ada yang hanya tersenyum kecil, ada juga yang terlihat tidak nyaman.

Entah kenapa, momen itu menggangguku. Bukan karena si petugas—bukan karena niat baik infaknya. Tapi karena aku bertanya-tanya dalam hati: mengapa kita masih harus minta-minta di jalan untuk membangun masjid?

Bukankah masjid bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah? Bukankah masjid punya jamaah tetap, panitia, dan mungkin juga donatur? Lalu mengapa harus berdiri di pinggir jalan, menghadang kendaraan yang lewat—yang belum tentu semuanya muslim, belum tentu semuanya sedang ingin berbagi?

Yang membuatku makin diam adalah saat melihat siapa yang berdiri di situ. Seorang laki-laki, usia produktif, tampak sehat. Aku sempat berpikir: bukankah akan lebih baik jika waktunya digunakan untuk bekerja atau berdagang? Atau mungkin... justru ini adalah pekerjaannya? Kalau iya, apakah ia dibayar untuk berdiri di sana? Kalau tidak dibayar, apa yang membuatnya mau berdiri di pinggir jalan seperti itu?

Apakah ini bagian dari amal? Apakah ini cara ia menabung pahala? Atau justru ini cerminan dari sistem yang tidak efektif, di mana lembaga keagamaan harus mencari dana dari orang yang kebetulan lewat, bukan dari perencanaan yang matang?

Aku tahu, setiap orang bebas memilih mau bersedekah ke mana. Ada yang lebih senang memberi langsung ke tetangga yang butuh. Ada yang rutin transfer ke lembaga filantropi nasional. Ada juga yang senang menaruh uang ke kotak infak setiap Jumat di masjid dekat rumah. Dan semua itu sah.

Tapi tetap saja, ada satu sisi dari praktik meminta sumbangan di jalan ini yang membuatku merasa tidak nyaman. Bukan karena aku tidak ingin memberi, tapi karena rasanya seperti sedekah dipaksakan lewat situasi sosial yang semu. Seakan-akan aku diminta memilih antara membuka kaca dan menyumbang... atau terlihat cuek di mata petugas dan kendaraan lain di belakangku.

Tapi mungkin, ada sisi baiknya juga. Mungkin cara ini mengingatkan kita untuk berbagi. Untuk tidak terlalu larut dalam urusan pribadi sampai lupa bahwa ada pembangunan masjid, ada amal jariyah, ada ruang untuk menyisihkan sebagian rezeki.

Aku tidak tahu jawaban pastinya. Aku hanya menulis ini untuk jujur pada kegelisahanku. Mungkin kamu pernah merasa yang sama. Atau justru kamu punya sudut pandang yang berbeda. Dan itu sah-sah saja.

Yang jelas, aku yakin satu hal: niat baik tidak selalu butuh panggung yang terlihat oleh semua orang. Kadang, yang kita butuhkan justru sistem yang lebih tertata, agar kebaikan tidak selalu harus dipertontonkan di tengah jalan

0 komentar: