Hari 4 – Mencari Topik, Mencari Diri Sendiri

 


Salah satu hal paling melelahkan sekaligus paling sunyi dalam mempersiapkan studi lanjut adalah ini: memilih topik. Kedengarannya sepele. Orang bisa dengan ringan berkata, “Angkat saja topik yang kamu kuasai.” Tapi apa artinya "menguasai"? Apa iya, hanya karena aku sering mengajarkan sesuatu, maka aku benar-benar memahaminya? Atau karena aku punya pengalaman mengelola sebuah program, lalu itu cukup dijadikan bahan riset? Rasanya tidak semudah itu.

Beberapa bulan terakhir, aku seperti mengais-ngais gagasan dari serpihan pengalaman: kurikulum, metode pembelajaran, asesmen, teknologi pendidikan kedokteran. Semua itu terasa dekat, karena memang aku hidup di dalamnya. Tapi justru karena semuanya terasa dekat, aku jadi sulit memilih satu yang benar-benar ingin kudalami. Rasanya seperti mencoba memilih satu bagian tubuh yang paling penting untuk diselamatkan lebih dulu—padahal semuanya penting.

Aku pernah begitu yakin dengan asesmen. Pernah pula terpikat dengan pendekatan kurikulum berbasis komunitas. Lalu sempat terseret euforia digitalisasi dan berpikir tentang teknologi dalam pembelajaran kedokteran. Aku bahkan pernah mencatat lebih dari 15 judul topik sementara di catatan ponselku. Tapi tidak satu pun yang membuatku merasa: “Ini dia.” Yang ada justru kebingungan yang makin lama makin membesar.

Aku membaca jurnal demi jurnal, membuka Scopus, Google Scholar, bahkan mencoba meraba gap dari penelitian terdahulu. Tapi semakin banyak yang kubaca, semakin aku merasa kecil. Ada banyak hal yang belum aku pahami dengan utuh. Banyak istilah, banyak pendekatan metodologi, dan banyak debat dalam dunia pendidikan kedokteran yang belum pernah benar-benar kusentuh.

Dan di titik itulah, kadang muncul suara dalam diri yang berkata, “Apa aku benar-benar siap untuk ini?”

Rasanya aneh, ya. Di permukaan, aku tampak percaya diri: mengajar, memimpin, bahkan menulis modul. Tapi di ruang terdalam, aku berhadapan dengan kenyataan bahwa menjadi akademisi bukan hanya tentang tahu banyak hal, tapi tentang tahu apa yang tidak kau tahu, dan berani mengakuinya.

Mungkin itulah yang membuatku sempat terdiam saat Prof. Ardi menanyakan tentang arah risetku. Karena aku tahu, belum ada satu pun ideku yang matang. Semua masih berupa kabut—bergerak, berubah, samar-samar. Tapi bukankah semua yang besar berawal dari keraguan? Bukankah ketidaktahuan yang jujur bisa menjadi awal dari pencarian yang bermakna?

Hari ini aku belum menemukan topik pastiku. Tapi aku sudah mulai berdamai dengan ketidaktahuan itu. Aku akan terus membaca, mencatat, berdiskusi, dan bertanya—bukan demi membuktikan bahwa aku pintar, tapi demi memahami apa yang benar-benar ingin aku pelajari.

Mungkin esok atau lusa, kabut itu akan mulai membuka. Tapi hari ini, aku menulis ini dulu—sebagai pengingat, bahwa proses berpikir itu memang tidak selalu rapi. Dan itu tidak apa-apa.

0 komentar: