Aku pernah menjawabnya, dulu. Ketika aku masih bersemangat korespondensi dengan calon promotor, ketika semangat itu masih utuh, dan aku merasa “siap.” Tapi ternyata, siap itu tidak cukup.
Aku ingat saat Prof. Ardi Findyartini bertanya balik, dengan pertanyaan yang sangat masuk akal—tentang fokus risetku, novelty-nya, dan kontribusinya terhadap pengembangan pendidikan kedokteran. Saat itu, aku malah merasa kecil. Jawabanku menggantung. Aku sendiri bingung harus menarik benang merah dari ketertarikan yang begitu luas.
Aku suka kurikulum, suka metode pembelajaran, suka asesmen, dan aku juga tergoda dengan topik-topik baru seperti digitalisasi dan AI dalam pembelajaran kedokteran. Tapi saat semua itu tercampur, malah terasa kabur.
Aku bahkan pernah secara khusus mengamati dan membaca beberapa publikasi Prof. Diantha Soemantri—aku tertarik dengan cara beliau mengeksplorasi asesmen dalam pendidikan kedokteran. Ada sesuatu yang dalam di situ: bagaimana asesmen bukan hanya alat ukur, tapi juga jendela pembelajaran itu sendiri.
Tapi kemudian aku berpikir, apakah aku cukup paham? Apakah aku mampu menyelami dunia asesmen dengan kompleksitasnya? Atau haruskah aku kembali ke minatku yang lama, yang lebih ‘empiris’—seperti menciptakan trigger berpikir mahasiswa, sesuatu yang sudah beberapa kali kulakukan dalam pengajaran?
Dan sejak saat itu, aku mulai menjaga jarak. Bukan karena tak mau, tapi karena merasa belum mampu.
Waktu berlalu. Aku kembali tenggelam dalam tugas-tugas institusi, termasuk amanah besar dalam akreditasi. Dan sekarang, ketika semua mulai tenang, suara itu muncul lagi: “Apa sebenarnya yang ingin kau pelajari selama 3-4 tahun ke depan?”
Bukan hanya soal judul. Tapi tentang identitas keilmuan, tentang bagaimana aku ingin dikenang sebagai akademisi.
Belakangan aku mencoba lebih jujur. Aku lihat kembali arsipku: file seminar, rekaman presentasi, proposal hibah yang pernah kutulis, sampai catatan harian kecil saat mengamati mahasiswa. Aku menemukan pola. Aku selalu tertarik saat mahasiswa terlihat bingung, tapi aku tidak bisa diam. Aku ingin mereka “klik”, berpikir kritis, bertanya, dan benar-benar belajar.
Dari situ aku mulai menggali ulang minatku pada “trigger dalam pembelajaran”, pada bagaimana kita bisa menciptakan pemantik berpikir yang benar-benar bekerja dalam proses belajar mahasiswa kedokteran.
Mungkin itu topiknya. Mungkin juga masih akan berubah. Tapi sekarang, aku tidak lagi merasa kosong. Aku punya peta, meski belum punya rute pasti.
Aku belajar bahwa memilih topik S3 bukan soal menemukan ide paling hebat sedunia. Tapi tentang menemukan ide yang paling dekat dengan dirimu sendiri—yang membuatmu penasaran, membuatmu rela lelah, membuatmu betah tenggelam di dalamnya.
Dan hari ini, aku tidak ingin pura-pura yakin. Tapi aku ingin jujur bahwa proses ini, walaupun lambat, adalah proses mengenal diri sendiri juga.
“Menemukan topik bukan cuma soal riset. Tapi soal menemukan siapa kamu, dalam kata, data, dan mimpi yang kau bentuk sendiri.”
0 komentar: