Seri 11 – Hari Sidang Skripsi: Antara Deg-Degan, Doa, dan Keberanian yang Kamu Kira Tak Punya

 

Ada satu hari yang selalu dinanti sekaligus ditakuti oleh hampir semua mahasiswa:

Hari Sidang Skripsi.

Hari di mana semua kerja kerasmu—berbulan-bulan membaca jurnal, menyusun bab, mengedit revisi, menangis diam-diam, bahkan begadang sambil ngomel—akhirnya diuji.
Dan jujur saja… nggak ada yang benar-benar siap seratus persen.

Kalau kamu sekarang sedang menunggu hari sidang, atau sedang membayangkannya, izinkan aku bercerita sedikit tentang bagaimana membuat hari itu terasa lebih manusiawi dan tidak menakutkan.

1. Rasa Cemas Itu Normal, Jadi Jangan Dilawan

Beberapa mahasiswa datang ke sidang dengan tangan dingin, mulut kering, suara gemetar. Ada yang pacing bolak-balik, ada yang fokusnya buyar, ada yang ingin ke toilet setiap 10 menit.
Dan itu wajar.

Cemas itu tanda kamu peduli.
Tanda kamu menghargai prosesmu.
Tanda kamu ingin memberikan yang terbaik.

Jangan melawan rasa cemas itu—justru terima dan kelola.
Karena yang membuat sidang jadi berat bukan sidangnya, tapi pikiran kita sendiri.

2. Presentasi Sidang Tidak Perlu Sempurna, Cukup Jelas & Jujur

Banyak mahasiswa menghabiskan waktu berhari-hari memperbaiki slide, memastikan warna, transisi, dan ikon yang serasi.
Padahal dosen tidak menilai slide-mu.
Dosen menilai pemahamanmu.

Tips sederhana:

  • Sampaikan apa inti penelitianmu, bukan semua detailnya.

  • Gunakan kalimat pendek.

  • Fokus pada logika: latar belakang → masalah → tujuan → metode → hasil → makna.

  • Latihan 2–3 kali sudah cukup, tidak perlu 20 kali.

Dan ingat: kalau kamu lupa kalimat tertentu, improvisasi saja.
Dosen lebih menghargai mahasiswa yang tenang, bukan yang hafalan.

3. Jawaban Tidak Harus “Pintar,” Tapi Harus Masuk Akal

Kadang mahasiswa panik karena takut tidak bisa menjawab.
Padahal penguji tidak sedang mencari jawaban paling canggih, tapi jawaban yang logis dan jujur.

Kalau kamu belum tahu sesuatu, kamu bisa menjawab:

“Terima kasih, Bu/Pak, itu poin penting. Kami belum meneliti bagian itu, namun berdasarkan literatur A dan B, arah temuannya cenderung….”

Sopan, jelas, dan menunjukkan kamu berpikir.

Dosen senang dengan mahasiswa yang mau berdialog, bukan mahasiswa yang ingin tampak sempurna.

4. Khusus untuk yang Pemalu & Introvert: Kamu Bisa Bersinar dengan Caramu Sendiri

Tidak semua orang lahir dengan kemampuan berbicara lantang. Tidak semua mahasiswa nyaman menjadi pusat perhatian.

Tapi introvert biasanya:

  • berpikir lebih dalam,

  • lebih terstruktur,

  • lebih hati-hati dalam menjawab.

Dan itu justru nilai plus.
Kamu tidak perlu bicara cepat.
Kamu tidak perlu terlalu ekspresif.
Cukup bicara pelan, tenang, dan jelas.

Dosen akan merasakan keseriusanmu.

5. Setelah Sidang: Menunggu Nilai Itu Lebih Menegangkan dari Sidang Itu Sendiri

Beberapa mahasiswa keluar ruangan sidang dengan perasaan:

  • lega,

  • atau kacau,

  • atau yakin gagal,

  • atau justru merasa biasa saja.

Tapi semua akan merasakan satu hal yang sama: deg-degan menunggu nilai.

Dan di sinilah kamu harus ingat:

  • Dosen tidak sedang mencari cara menjatuhkanmu.

  • Nilai sidang tidak seseram yang kamu pikirkan.

  • Kamu sudah sampai sejauh ini, dan itu bukti kamu mampu.

Setelah semua proses panjang itu, kamu layak memberi hadiah untuk dirimu sendiri—walau hanya tidur siang atau minum boba.

6. Pada Akhirnya, Sidang Skripsi Adalah Tentang Kamu Melihat Dirimu Sendiri

Bukan tentang dosen.
Bukan tentang nilai.
Bukan tentang penguji yang “killer”.

Tapi tentang bagaimana kamu tumbuh:

  • dari mahasiswa yang takut bertanya,

  • menjadi mahasiswa yang berani mempertahankan argumennya.

  • dari mahasiswa yang bingung dengan metode,

  • menjadi mahasiswa yang bisa menjelaskan logikanya.

Sidang skripsi bukan akhir.
Ia adalah cermin, yang menunjukkan betapa jauh kamu sudah melangkah.

Dan percayalah, kamu akan mengingat hari itu bukan sebagai hari yang menakutkan, tapi sebagai hari kamu menyadari:

“Aku ternyata bisa sejauh ini.”

0 komentar:

Seri 10 – Metode Penelitian: Antara Bingung, Takut Salah, dan Akhirnya Paham

 

Ada satu fase dalam perjalanan skripsi yang bikin banyak mahasiswa tiba-tiba merasa… kecil.

Bukan karena dosen pembimbing, bukan karena revisi, tapi karena metode penelitian.

Ya, bagian yang sering disebut-sebut, tapi jarang benar-benar dipahami: metode apa yang harus dipakai?
Kuantitatif? Kualitatif? Mix-method? Studi kasus? Cross-sectional? Analisis regresi? Fenomenologi?
Dan tiba-tiba semuanya terasa seperti bahasa alien.

“Saya nggak ngerti metodenya, Bu…”

Kalimat itu sering banget aku dengar dari mahasiswa.
Ada yang bilang sambil senyum kaku.
Ada yang bilang sambil ingin nangis.
Ada yang bilang sambil ketawa—tapi kelihatan jelas itu tawa pasrah.

Kenyataannya, banyak mahasiswa memilih topik dulu baru memikirkan metode.
Saat masuk ke metode, barulah muncul panik:

“Saya takut salah pilih metode.”
“Takut dosen bilang nggak tepat.”
“Takut metodenya ternyata sulit.”

Padahal, kebingungan itu wajar.
Karena metode penelitian bukan cuma tentang teknik, tapi tentang cara kita melihat dunia dan menjawab pertanyaan penelitian.

Kenapa Memilih Metode Itu Sulit?

Karena mahasiswa sering merasa metode penelitian harus rumit, keren, atau serba canggih agar skripsinya dianggap bernilai.

Padahal dosen tidak mencari yang keren.
Dosen mencari yang sesuai.

Dan metode yang sesuai adalah metode yang bisa menjawab pertanyaan penelitianmu secara logis, sederhana, dan terukur.

Kalau pertanyaannya ingin tahu hubungan, pakai metode hubungan.
Kalau ingin tahu pengalaman orang, pakai metode kualitatif.
Kalau ingin menggambarkan saja, pakai deskriptif.

Sering kali mahasiswa hanya butuh satu hal:
memahami inti pertanyaannya dulu.

Kiat Memahami dan Memilih Metode Penelitian Tanpa Stres

1. Kembali ke pertanyaan penelitianmu

Metode lahir dari pertanyaanmu, bukan sebaliknya.
Tanyakan:

  • Aku ingin menjelaskan, menggambarkan, atau mencari hubungan?

  • Aku ingin tahu angka, atau makna pengalaman?

  • Aku ingin mengamati fenomena, atau menguji teori?

Jawaban ini sudah mengarahkanmu 60%.

2. Lihat skripsi atau jurnal yang mirip topiknya

Cara tercepat belajar metode adalah lihat contoh nyata.
Bukan baca teori panjang dulu—itu nanti.

Kamu akan lihat:
“Oh, peneliti ini pakai cross-sectional.”
“Oh, oh… ternyata yang ini pakai wawancara mendalam.”

Contoh nyata jauh lebih mudah dipahami daripada abstraksi teori.

3. Pelajari sedikit demi sedikit, jangan sekaligus

Metode penelitian itu kayak bahasa baru.
Kalau kamu baca semuanya sekaligus, pasti pusing.
Tapi kalau dibaca bertahap, lama-lama nyambung.

Mulai dari dasar:

  • tujuan metode

  • prosedur

  • cara analisis

  • contoh penerapan

Setelah itu baru masuk ke teknis.

4. Tanyakan ke dosen pembimbing, jangan tunggu “pasti paham dulu”

Banyak mahasiswa malu bertanya karena merasa belum paham.

Padahal justru sebaliknya.
Dosen tahu bahwa mahasiswa memang tidak akan langsung paham.

Kamu boleh bilang:

“Bu/Pak, saya sudah membaca bagian ini, tapi saya masih bingung di langkah X. Apakah boleh dibantu memantapkan arah metodenya?”

Sopan, jujur, dan jelas.

5. Jangan mengejar metode yang “keren”, tapi metode yang tepat

Beberapa mahasiswa ingin ada regresi, ANOVA, model struktural, atau fenomenologi transendental—padahal topiknya tidak butuh.
Metode bukan ajang unjuk kebolehan.
Metode adalah alat.
Dan alat yang tepat jauh lebih penting daripada alat yang kompleks.

6. Kuasai dulu logikanya, baru teknisnya

Sering mahasiswa takut SPSS atau NVivo.
Padahal yang harus dipahami dulu adalah logika metodenya.

Misalnya:

  • Kalau hubungan → correlation.

  • Kalau perbandingan → uji beda.

  • Kalau makna → coding tematik.

Setelah logikanya paham, teknisnya jauh lebih mudah dipelajari.

Menguasai Metode dan Konten Sekaligus: Bisa!

Banyak mahasiswa merasa tidak mampu menguasai metode dan konten penelitian.
Padahal, keduanya justru saling melengkapi.

Konten membuatmu paham apa yang sedang kamu teliti.
Metode membuatmu paham bagaimana cara menelitinya.

Dan kamu tidak perlu jadi ahli dalam sehari.
Belajar skripsi itu bertahap:

  1. Pahami topikmu.

  2. Baru belajar metode yang cocok.

  3. Baru belajar langkah-langkah teknis.

Yang penting: konsisten, bukan sempurna.

Metode penelitian sering terasa menakutkan karena kita menganggapnya sesuatu yang besar dan rumit.

Padahal metode hanyalah cara untuk menemukan jawaban, bukan sesuatu yang harus mengintimidasi kita.

Skripsi bukan tentang jadi ahli statistik atau ahli filsafat kualitatif.
Skripsi adalah tentang bagaimana kamu bertumbuh melalui proses ilmiah.

Kamu boleh bingung.
Kamu boleh takut.
Tapi kamu juga harus tahu bahwa kamu bisa belajar.

Pelan-pelan.
Sedikit demi sedikit.

Karena pada akhirnya, metode penelitian akan berhenti terlihat rumit ketika kamu mulai memahaminya sebagai teman perjalanan—bukan musuh yang harus ditaklukkan.

0 komentar:

Seri 8 – Bab 4 & 5: Antara Data, Drama, dan Doa

 

Kalau skripsi diibaratkan perjalanan panjang, maka Bab 4 dan 5 adalah tanjakan terakhir sebelum garis finish.

Tapi anehnya, di titik ini banyak mahasiswa justru berhenti.
Bukan karena kehabisan tenaga… tapi karena overthinking.

Ada yang sudah pegang data lengkap, tapi malah bingung mau mulai dari mana.
Ada yang sudah buka laptop berjam-jam, tapi isinya cuma natap layar kosong sambil berkata dalam hati,

“Takut salah nulis, takut dosen nggak suka, takut dibilang nggak nyambung.”

Padahal, sejujurnya, semua orang pernah melewati fase itu.Kenapa Bab 4 dan 5 Selalu Bikin Deg-Degan

Bab 4 itu isinya hasil penelitian  bagian di mana semua kerja kerasmu akhirnya muncul di angka, tabel, atau grafik. Sedangkan Bab 5 adalah pembahasan bagian di mana kamu ditantang untuk menjelaskan kenapa hasilnya begitu dan apa artinya.

Dan di sinilah biasanya muncul rasa takut.
Karena kamu mulai menyadari bahwa dosen pembimbing, penguji, bahkan teman-temanmu nanti akan membaca dan menilai hasil kerja kerasmu.

Tapi tenang.
Skripsi itu bukan kontes siapa yang paling sempurna, tapi siapa yang berani percaya pada prosesnya sendiri.

Tulis Dulu, Rapikan Nanti

Salah satu jebakan klasik mahasiswa di Bab 4 dan 5 adalah ingin tulisannya langsung rapi, logis, dan akademis sejak awal.
Padahal, nggak ada tulisan bagus tanpa versi berantakan dulu.

Coba ubah pendekatan:

  • Jangan pikir “tulisan ini harus benar.”

  • Tapi pikir “aku mau menuliskan dulu apa yang aku pahami.”

Tulis dulu hasil datamu, ceritakan dengan bahasamu sendiri.
Kamu selalu bisa kembali untuk memperbaiki struktur, menambah teori, atau mengganti kalimat.
Tulisan itu bisa direvisi — tapi pikiran yang terus ditunda malah makin kaku.

Pahami Pola, Bukan Hanya Angka

Kalau kamu merasa data di Bab 4 bikin pusing, berhenti sejenak.
Jangan langsung fokus ke angka, grafik, atau tabelnya.
Tanyakan hal sederhana:

“Sebenarnya apa yang terjadi di sini?”

Mungkin hasilnya menunjukkan peningkatan, mungkin justru tidak ada perbedaan.
Apa pun hasilnya, itu bukan bencana. Karena skripsi yang baik bukan yang “hasilnya sesuai harapan,” tapi yang bisa menjelaskan hasilnya dengan logis.

Di Bab 5, tugasmu adalah berdialog dengan teori.
Ibaratnya, kamu duduk di antara data dan teori, lalu mempertemukan keduanya.
“Teori bilang begini, tapi hasilku menunjukkan begini.”
Dari situ muncul pembahasan yang hidup dan jujur.

Untuk Kamu yang Perfeksionis (dan Introvert)

Aku tahu, bagi sebagian orang terutama yang cenderung pemalu atau perfeksionis. Bab 4 dan 5 terasa seperti panggung besar yang menakutkan.
Kamu ingin semua kalimatmu terdengar cerdas. Kamu takut salah menafsirkan data. Kamu ingin dosen bilang “hebat”.

Tapi percayalah, Bab 4 dan 5 bukan ujian untuk tampil sempurna, tapi latihan untuk berpikir matang.
Kalau kamu introvert, justru di sinilah kekuatanmu: kamu cermat, reflektif, dan observatif.
Gunakan itu.
Kamu nggak harus menulis cepat, tapi tulislah dengan tenang dan penuh pemikiran.
Ketenanganmu akan terlihat dari cara kamu menyusun kata.

Buat Diri Sendiri Nyaman Dulu

Kadang, yang kamu butuhkan bukan motivasi besar, tapi ritual kecil yang bikin tenang.
Misalnya:

  • Nulis sambil nyalain lagu instrumental favorit.

  • Siapkan minuman hangat.

  • Bagi tulisan jadi bagian kecil, misal 1 tabel per hari.

Hal-hal kecil itu bisa jadi jangkar saat rasa cemas datang.

Menulis Bab 4 dan 5 bukan cuma tentang menyelesaikan skripsi.
Ini juga tentang belajar mempercayai kemampuan diri sendiri.

Kamu sudah sejauh ini berarti kamu mampu.
Data sudah kamu kumpulkan, teori sudah kamu baca, waktu sudah kamu luangkan. Sekarang tinggal satu hal: berhenti takut, mulai menulis.

Karena Bab 4 dan 5 mengajarkan kita satu hal penting:

“Kadang, yang bikin kita tidak maju bukan karena kita tidak bisa, tapi karena kita terlalu sibuk takut salah.”

Jadi tenangkan dirimu, buka file skripsi itu lagi, dan mulai ketik satu paragraf saja hari ini.
Nggak perlu banyak, yang penting ada langkah.
Karena di setiap langkah kecil itu, kamu sebenarnya sedang bergerak menuju kata “lulus.” 🎓

0 komentar:

Seri 9 – Menghadapi Revisi Tanpa Drama dan Baper

(Karena Revisi Itu Bukan Hukuman, tapi Panduan)

Ada satu momen dalam skripsi yang hampir semua mahasiswa takutkan: saat dosen pembimbing mengembalikan draf dengan jejak comment merah di mana-mana.
Ada yang langsung lemas, ada yang drama ingin berhenti kuliah, ada juga yang rajin tapi diam-diam nangis di kamar.

Padahal… revisi adalah bagian paling wajar dari perjalanan ini.
Dan percaya atau tidak, revisi itu sebenarnya bukan bentuk penolakan—tapi bentuk perhatian.

Revisi Itu Bukan Tentang “Kamu Salah”

Salah satu kesalahpahaman terbesar dalam dunia skripsi adalah menganggap revisi sebagai tanda kegagalan.
Seolah ketika dosen bilang:

“Ini tolong direvisi lagi,”
yang kita dengar adalah:
“Kamu jelek, kamu nggak bisa, kamu nggak paham.”

Padahal, kenyataannya sangat berbeda.
Revisi adalah dialog.
Dosen sedang membantumu memperbaiki cara bercerita, memperjelas argumen, dan menguatkan penelitianmu.

Bayangkan kalau dosen tidak memberi revisi sama sekali. Justru itu yang bahaya. Ia berarti tidak memerhatikan detail.

Kenapa Kita Mudah Baper dengan Revisi?

Biasanya karena tiga hal:

  1. Kita merasa sudah berusaha maksimal, jadi dikoreksi terasa menyakitkan.

  2. Kita takut dianggap bodoh, padahal semua orang memang belajar dari kesalahan.

  3. Kita cemas dinilai, terutama mahasiswa perfeksionis dan introvert.

Tapi semakin kita dewasa, semakin kita sadar:
Tidak ada tulisan yang langsung bagus.
Hampir semua karya besar di dunia lahir dari revisi panjang.

Cara Menghadapi Revisi Tanpa Drama

1. Jangan baca komentar saat emosi capek

Baca saat pikiran sedang lumayan tenang. Kalau kamu buka saat sedang letih, semuanya terasa menyakitkan.

2. Pisahkan revisi berdasarkan kelompok

  • Revisi ringan: typo, kalimat kurang jelas → selesaikan dulu

  • Revisi sedang: kurang referensi, perlu perbaikan data

  • Revisi besarnya: struktur bab, alur argumentasi

Mulai dari yang paling mudah.
Biar otak dapat sense of progress.

3. Tanya dosen kalau benar-benar bingung

Tanya dengan sopan.
Dosen tidak keberatan menjelaskan ulang, asalkan kamu menunjukkan usaha.

Contoh chat yang aman dan profesional:

“Pak/Bu, mohon izin bertanya. Pada bagian yang Bapak/Ibu beri komentar…, apakah maksudnya perlu ditambahkan literatur, atau disederhanakan bahasanya? Terima kasih banyak.”

Sopan, to the point, tidak ragu.

4. Anggap revisi sebagai kerja tim, bukan duel

Kamu dan dosen berada di pihak yang sama: sama-sama ingin skripsimu bagus dan selesai.
Revisi itu bukan perang, tapi kolaborasi.

5. Rayakan setiap revisi yang selesai

Setiap satu comment yang berhasil kamu selesaikan, kamu semakin dekat pada kata “lulus.”
Kasih hadiah kecil untuk diri sendiri: makan enak, minum boba, atau tidur siang.

Kamu pantas merayakannya.

Untuk Kamu yang Introvert atau Perfeksionis

Aku tahu rasa takut itu.
Takut ditegur.
Takut dibilang kurang.
Takut chat dosen.
Takut presentasi revisi.

Tapi kamu perlu ingat:
Introvert punya kemampuan refleksi yang dalam.
Perfeksionis punya ketelitian yang luar biasa.
Gunakan itu sebagai kekuatan saat memperbaiki skripsi.

Revisi itu bukan tentang berbicara banyak—tapi berpikir jelas.
Dan kamu sangat mampu melakukan itu.

Pada akhirnya, revisi mengajarkan kita satu pelajaran penting:
bahwa kita tumbuh bukan saat semuanya berjalan mulus, tapi saat seseorang berani mengoreksi dan kita berani memperbaiki.

Jadi, kalau kamu sedang menghadapi revisi yang rasanya panjang dan melelahkan, tarik napas.
Lihat kembali file skripsimu.
Lalu kerjakan pelan-pelan.

Karena setiap revisi yang kamu terima, sebenarnya sedang membentukmu menjadi versi diri yang lebih matang—baik sebagai mahasiswa, maupun sebagai manusia.

Dan percayalah:
Saat kamu nanti menutup skripsi untuk terakhir kalinya, kamu akan sadar bahwa semua revisi itu memang layak diperjuangkan.

0 komentar:

Seri 7: Skripsi Nggak Harus Panik — Biar Santai tapi Tetap Jalan

 

Kalau ada momen yang paling bikin jantung berdebar saat ngerjain skripsi, mungkin bukan waktu nulis bab tiga atau ngumpulin data. Tapi waktu… ngontak dosen pembimbing

Iya, hal sesederhana “chat dosen” aja bisa bikin banyak mahasiswa gelisah semalaman. Pesannya diketik, dihapus, diketik lagi, dihapus lagi. Sampai akhirnya cuma berakhir di draft chat tanpa pernah dikirim.

Aku tahu rasanya. Campur antara takut salah ngomong, takut ganggu, dan takut dikacangin.

1. Kecemasan Saat Menghubungi Dosen Pembimbing

Bagi banyak mahasiswa—terutama yang cenderung introvert—menghubungi dosen itu seperti momen mengumpulkan keberanian hidup.
“Bu, maaf mengganggu, saya mau minta waktu bimbingan…”
Kalimat itu saja bisa terasa seperti pidato nasional.

Tapi coba pikir begini: dosenmu juga pernah jadi mahasiswa. Mereka tahu bahwa skripsi memang bukan hal mudah. Kuncinya adalah sopan tapi to the point.
Kamu nggak perlu menulis chat sepanjang novel—cukup singkat, jelas, dan hormat.

Contoh sederhana:

“Selamat pagi, Dok/ Bu/ Pak. Mohon izin, apakah saya boleh mengajukan jadwal bimbingan minggu ini? Bab 2 sudah saya revisi sesuai masukan Bapak/Ibu. Terima kasih sebelumnya.”

Nggak usah terlalu takut. Kadang, kecemasan kita datang dari bayangan sendiri, bukan dari respon dosen sebenarnya.

Dan kalau dosen belum balas, jangan langsung berpikir kamu dibenci. Bisa jadi beliau sedang sibuk atau sedang fokus pada urusan lain.

2. Deg-degan Saat Seminar Proposal atau Seminar Hasil

Waktu pertama kali maju seminar, aku masih ingat tangan rasanya dingin, suara sedikit gemetar, dan pikiran seolah kosong.
Tapi ternyata, satu hal yang membuat semua lebih ringan adalah: menyadari bahwa kamu bukan sedang diadili, tapi diuji.

Dosen penguji bukan datang untuk menjatuhkan, tapi membantu memperbaiki penelitianmu agar lebih kuat.
Kalau kamu bisa ubah cara pandang ini, rasa panik bisa berubah jadi rasa penasaran:

“Bagian mana ya yang bisa aku perbaiki biar penelitianku lebih bagus?”

Dan jangan lupa: latihan kecil itu menyelamatkan banyak hal. Coba simulasi presentasi di depan kaca, atau minta teman pura-pura jadi dosen penguji.
Kadang yang kamu butuhkan cuma sense of familiarity—karena sesuatu yang sering kamu ulang, lama-lama jadi terasa biasa.

3. Tantangan untuk Kaum Introvert

Sebagai seorang introvert, aku tahu banget perjuangan ini. Bertemu orang baru, berbicara di depan umum, atau sekadar mengetuk pintu ruang dosen bisa terasa seperti maraton sosial.

Tapi percayalah, kamu nggak harus berubah jadi ekstrovert untuk bisa sukses di skripsi. Kamu hanya perlu menemukan cara yang cocok untukmu.

Beberapa cara kecil yang bisa dicoba:

  • Tulis dulu poin pembicaraan sebelum bimbingan, jadi kamu nggak gugup mencari kata.

  • Kirim pesan dengan bahasa sopan dan rapi, biar jelas maksudnya tanpa harus bicara panjang.

  • Latihan berbicara sambil rekam suara sendiri — awalnya canggung, tapi membantu banget buat latihan artikulasi dan intonasi.

Introvert punya kelebihan yang luar biasa: fokus, observatif, dan bisa berpikir mendalam. Gunakan itu sebagai kekuatan saat menjawab pertanyaan penguji. Kamu nggak perlu bicara cepat, cukup jawab dengan tenang dan terarah—itu justru membuatmu terlihat lebih siap.

4. Santai Bukan Berarti Asal-asalan

Menjalani skripsi dengan santai bukan berarti menunda atau menggampangkan. Tapi tentang mindset: tenang, realistis, dan konsisten.
Karena kalau kamu bisa menjaga tenang, pikiran jadi jernih, ide lebih mudah mengalir, dan proses bimbingan jadi lebih menyenangkan.

Skripsi itu bukan lomba siapa paling cepat, tapi siapa paling tahan menjalani prosesnya dengan kepala dingin.

Kalau sekarang kamu sedang dalam fase “deg-degan tiap mau chat dosen”, “bingung mau ngomong apa pas seminar”, atau “merasa nggak cukup berani”, tenang… kamu nggak sendirian.
Bahkan mahasiswa paling pintar pun pernah gugup di titik itu.

Pelan-pelan aja. Tarik napas. Susun kata. Kirim pesan.
Kamu nggak harus sempurna hari ini. Yang penting, berani mulai dulu.

Karena skripsi bukan tentang seberapa hebat kamu, tapi seberapa kamu mau bertumbuh dari setiap proses yang kamu hadapi. 🌿

0 komentar:

Ekspektasi, Luka, dan Daya Juang yang Tersisa

 “Kadang, daya juang bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang masih mau mencoba lagi setelah gagal berkali-kali meski dengan hati yang lelah.”

Hari Minggu kemarin, aku menjadi saksi dari sebuah percakapan yang sebetulnya sederhana antara seorang ibu dan anak laki-lakinya yang sudah duduk di semester 11. Namun seperti banyak hal dalam hidup, yang sederhana tidak selalu mudah.

Sepupuku itu, sebut saja R, sedang berjuang menyelesaikan skripsinya. Perjuangan yang sudah melewati batas waktu yang ideal, tapi bagiku, tetap sebuah perjuangan. Ia datang dengan nada lelah bukan hanya karena tugas akhir yang tak kunjung selesai, tapi juga karena hubungan dengan ibunya, tanteku, sedang renggang. Ia meminta aku hadir, bukan untuk memihak, melainkan sekadar menjadi saksi agar percakapan mereka tak berubah menjadi pertengkaran.

Di satu sisi, R ingin diakui sebagai laki-laki dewasa. Ia merasa cukup mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri, tanpa harus selalu diatur atau dibandingkan. Tapi di sisi lain, dari kacamata ibunya, kedewasaan bukan hanya soal usia atau keberanian membantah, melainkan tentang tanggung jawab tentang menyelesaikan apa yang telah dimulai. “Kalau sudah semester 11 tapi skripsi belum selesai, Mama harus gimana lagi?” begitu katanya, dengan nada yang bercampur antara marah, khawatir, dan sedih.

Aku tahu, tanteku bukan marah karena benci. Ia marah karena takut. Takut anak yang dulu selalu jadi kebanggaan kini kehilangan arah. Karena sepupuku dulu adalah anak juara selalu rangking satu, juara lomba, kebanggaan keluarga besar. Tapi kini, di tengah perjuangannya menyelesaikan skripsi, ia sempat berkata lirih kepadaku,

“Aku kadang menyesal dulu jadi juara. Karena sekarang rasanya semua orang menuntut aku jadi sempurna, tapi aku udah nggak sanggup.”

Kalimat itu seperti tamparan halus yang membuatku diam cukup lama. Kadang, kita tidak sadar bahwa prestasi di masa lalu bisa berubah menjadi beban di masa depan bukan karena prestasi itu salah, tapi karena ekspektasi yang tumbuh bersamanya terlalu berat untuk ditanggung seorang manusia yang sedang belajar menjadi dewasa.

Di tengah dua suara itu, aku melihat sesuatu yang lebih dalam: daya juang yang mulai menipis karena kelelahan dari kedua belah pihak. Anak yang merasa tidak dipahami, dan ibu yang merasa tidak didengar. Keduanya ingin saling mengerti, tapi jarak yang tercipta bukan karena cinta yang hilang, melainkan karena cara menyampaikan yang tidak bertemu di tengah.

R ingin dipercaya, Tante ingin diyakinkan. Dua hal yang tampak berbeda tapi sebenarnya sama: keduanya ingin merasa aman dalam cinta yang tidak selalu bisa diucapkan dengan lembut.

Malam itu, setelah percakapan yang cukup panjang, aku menulis satu kalimat kecil di buku catatanku:

“Daya juang bukan hanya tentang menyelesaikan skripsi, tapi juga tentang belajar memahami orang lain, bahkan ketika kita sendiri sedang ingin dipahami.”

Aku belajar bahwa setiap orang punya medan juangnya sendiri. Ada yang berjuang menghadapi tumpukan tugas kuliah, ada yang berjuang menghadapi harapan orang tua, dan ada yang berjuang menahan diri agar tetap bisa mencintai dalam perbedaan cara.

Sepupuku mengajarkan padaku bahwa kadang daya juang bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang masih mau mencoba lagi setelah gagal berkali-kali, meski harus menghadapi kecewa, marah, dan rasa tidak dimengerti.

Dan aku juga belajar dari tanteku, bahwa kasih seorang ibu sering kali datang dalam bentuk yang keras, bukan karena ingin melukai, tapi karena takut kehilangan arah yang dulu dibangun dengan air mata dan doa.

Mungkin, keduanya hanya butuh sedikit jeda — dan ruang untuk mendengar, bukan sekadar berbicara. Karena di antara dua hati yang sama-sama lelah, kadang yang paling dibutuhkan bukan nasihat, tapi pelukan yang berkata: “Aku masih percaya kamu bisa.”


0 komentar:

Antara Contekan dan Kejujuran dalam Belajar

 Hari ini aku cukup terkejut saat diskusi di kelas. Awalnya suasana berjalan seperti biasa: mahasiswa tampak antusias, beberapa mulai mengemukakan pendapat, sebagian lain masih menunggu giliran. Tapi ada satu hal yang membuatku terdiam sejenak — ternyata ada mahasiswa yang membawa contekan.

Bukan contekan ujian memang, tapi catatan jawaban yang sudah disiapkan atau mungkin dibagikan oleh temannya. Sekilas tampak sepele, tapi ketika mereka mulai membaca, aku bisa merasakan perbedaan antara mahasiswa yang benar-benar memahami materi dan yang sekadar membaca teks di depan mata. Kata-katanya mengalir, tapi tanpa makna; jawaban ada, tapi ruh belajarnya hilang.

Aku tidak marah, hanya sedikit sedih. Karena esensi dari diskusi bukan sekadar siapa yang bisa menjawab, tapi siapa yang mau berpikir. Diskusi itu bukan ajang menunjukkan siapa yang paling tahu, melainkan siapa yang mau berproses memahami.

Di kelas, aku selalu percaya bahwa nilai tertinggi bukan pada jawaban yang sempurna, tapi pada keberanian untuk mencoba berpikir. Karena di situ letak pembelajaran yang sesungguhnya. Mahasiswa boleh salah, boleh ragu, boleh belum paham — tapi ketika mereka berani mengutarakan pendapatnya sendiri, di situlah proses belajar terjadi.

Aku jadi merenung, mungkin tekanan akademik dan keinginan untuk tampil sempurna membuat mereka memilih jalan pintas. Tapi bukankah pendidikan justru tempat untuk berproses, bukan untuk berpura-pura tahu?

Hari ini aku belajar sesuatu juga: bahwa sebagai pengajar, tugasku bukan hanya menilai benar atau salah, tapi menumbuhkan rasa ingin tahu. Mendorong mahasiswa agar percaya bahwa berpikir sendiri jauh lebih berharga daripada sekadar membaca catatan orang lain.

Di akhir kelas, aku tidak menegur dengan keras. Aku hanya mengingatkan — bahwa diskusi bukan tentang menyalin, tapi tentang menyelami. Karena dalam setiap proses belajar, kejujuran adalah fondasi dari pemahaman yang sejati.

Dan mungkin, hari ini bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang bagaimana kita semua belajar menjadi lebih jujur — pada ilmu, pada proses, dan pada diri sendiri.

0 komentar:

Perjalanan...

 Hari ini akhirnya tiba juga. Hari yang selama ini aku siapkan dengan penuh harap, penuh doa, dan penuh ketegangan. Wawancara dengan Prof. Harrina dan dr. Wresti untuk seleksi S3 bukan sekadar sebuah tahap ujian, tapi seperti babak penting dalam perjalanan panjang menuju cita-citaku.

Aku masih ingat bagaimana beberapa minggu terakhir terasa begitu padat. Antara tugas kampus, penelitian hibah, dan jadwal praktik di klinik, aku mencoba menyisihkan waktu untuk belajar, menyusun kembali niat, dan melatih kepercayaan diri. Rasanya seperti maraton yang tidak hanya menguji kemampuan akademik, tapi juga ketahanan mental.

Pagi tadi, sebelum wawancara, aku berusaha menenangkan diri. Kubaca ulang proposal, kuingat-ingat lagi alasan mengapa aku ingin melanjutkan S3. Bukan semata untuk gelar, tapi karena aku ingin berkontribusi lebih — terutama dalam bidang pendidikan kedokteran, yang sudah menjadi bagian dari hidupku.

Saat nama dipanggil, jantungku berdebar lebih cepat. Tapi entah mengapa, begitu melihat wajah ramah Prof. Harrina dan dr. Wresti di layar, rasa gugup itu perlahan berkurang. Mereka tidak hanya bertanya, tapi juga menggali, menantangku untuk berpikir lebih dalam tentang riset yang ingin aku lakukan. Ada rasa takut, tapi juga rasa syukur: karena aku diberi kesempatan untuk berbicara tentang sesuatu yang benar-benar aku yakini.

Ada beberapa pertanyaan yang membuatku berpikir lama. Ada bagian yang mungkin belum kujawab sebaik yang seharusnya. Tapi di sisi lain, aku merasa wawancara ini bukan sekadar “ujian masuk”. Ia adalah cermin — untuk melihat seberapa siap aku melangkah, seberapa dalam aku mengenal bidang yang ingin kutekuni.

Selesai wawancara, aku menutup laptop dengan perasaan campur aduk. Lega, lelah, tapi juga haru. Perjalanan menuju S3 ini terasa seperti menapaki tangga panjang, satu per satu. Dan hari ini, meski belum tahu hasilnya, aku merasa sudah melangkah lebih jauh dari sebelumnya.

Aku belajar bahwa persiapan bukan hanya soal membaca jurnal atau menyiapkan jawaban, tapi juga tentang menyelaraskan niat. Bahwa yang terpenting bukan sekadar diterima, tapi siap untuk benar-benar belajar dan berkontribusi.

Dan mungkin, “siap” itu tidak selalu berarti tanpa takut. Kadang justru sebaliknya — kita tahu betul ketakutannya, tapi tetap melangkah dengan keyakinan. Karena di setiap rasa takut yang dihadapi, ada keberanian kecil yang tumbuh. Aku ingin percaya, itulah bagian dari proses menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Apapun hasilnya nanti, semoga langkah ini menjadi bagian dari perjalanan panjang yang diridhai Allah. Dan semoga, aku terus diberi kekuatan untuk berjalan, walau kadang dengan hati yang berdebar.

0 komentar:

Rencana Jalan-Jalan Hemat ke Thailand Bersama Mama

 


Setelah menuliskan rencana jalan-jalan ke Malaysia, entah kenapa pikiran saya jadi melayang ke negara tetangga lainnya: Thailand. Rasanya menyenangkan membayangkan bisa mengajak Mama menikmati suasana baru, budaya yang berbeda, dan tentunya pengalaman berharga yang tidak hanya soal destinasi, tapi juga soal kebersamaan.

Karena perjalanan ini baru sebatas rencana, saya mencoba menyusun itinerary sederhana—hemat tapi tetap nyaman—dengan durasi 4 hari 3 malam di Bangkok dan sekitarnya.


Hari 1 – Tiba di Bangkok, Menikmati Malam di Tepi Sungai

Saya membayangkan kami tiba siang atau sore di Bangkok. Dari bandara, pilihan hematnya tentu Airport Rail Link lalu sambung BTS atau Grab menuju penginapan. Saya membayangkan area Pratunam atau Sukhumvit, karena selain harganya masuk akal, lokasinya juga strategis.

Setelah check-in dan sedikit istirahat, saya ingin mengajak Mama berjalan sore ke Asiatique The Riverfront. Tempat ini suasananya santai, tepi sungai, penuh lampu-lampu malam, cocok untuk sekadar makan bersama sambil menikmati angin sungai. Saya rasa Mama akan suka suasana seperti ini, tidak terlalu ramai seperti pasar, tapi juga tidak sepi.


Hari 2 – Menyusuri Budaya dan Warisan Bangkok

Hari kedua, kami akan fokus pada city tour Bangkok. Pagi-pagi, setelah sarapan, tujuan utama tentu Grand Palace dan Wat Phra Kaew. Tempat ini memang ikonik, tapi juga penuh makna sejarah. Saya membayangkan Mama akan senang melihat keindahan arsitektur kuil yang begitu detail.

Dari sana, perjalanan bisa dilanjutkan ke Wat Pho dengan patung Buddha berbaring yang terkenal. Lalu, kalau masih ada energi, mungkin naik perahu sebentar di Sungai Chao Phraya. Sore hari, saya ingin mengajak Mama ke Wat Arun, kuil cantik di tepi sungai yang katanya sangat indah saat matahari terbenam.

Hari itu mungkin akan cukup melelahkan, tapi saya yakin juga akan jadi hari penuh foto dan cerita.


Hari 3 – Sejenak ke Ayutthaya

Kalau ada satu tempat yang tidak jauh dari Bangkok tapi punya suasana berbeda, saya ingin membawanya ke Ayutthaya. Naik kereta dari Bangkok hanya sekitar 1,5 jam, murah dan cukup nyaman.

Di sana ada reruntuhan kota tua dan candi-candi yang penuh cerita masa lalu. Kami bisa berkeliling dengan tuk-tuk lokal supaya Mama tidak terlalu capek berjalan. Rasanya seperti membawa Mama menyusuri lorong waktu, melihat sejarah Thailand yang masih terjaga dalam bentuk reruntuhan indah.

Sore hari kembali ke Bangkok, dan malamnya cukup makan di sekitar hotel.


Hari 4 – Belanja Ringan dan Pulang

Hari terakhir, sebelum kembali ke Indonesia, saya ingin menyisihkan waktu untuk belanja ringan. Pratunam Market atau Platinum Fashion Mall cukup dekat dari penginapan. Mama bisa membeli oleh-oleh atau sekadar cuci mata. Setelah itu, waktunya kembali ke bandara, menutup perjalanan singkat yang penuh makna.


Refleksi

Membayangkan perjalanan ini membuat saya sadar, bahwa jalan-jalan bersama orang tua bukan soal berapa banyak tempat yang didatangi, tapi bagaimana membuat perjalanan itu nyaman untuk mereka. Bagi saya, perjalanan ke Thailand bersama Mama akan lebih menjadi tentang percakapan panjang di hotel, senyumnya saat mencoba makanan baru, atau tangannya yang menggenggam lengan saya ketika menyeberang jalan ramai di Bangkok.

Itinerary ini mungkin masih sederhana, tapi bagi saya, ia sudah cukup untuk menjadi kerangka sebuah kenangan. Dan saya berharap, suatu saat bisa menuliskan versi nyata dari perjalanan ini—bukan lagi rencana, tapi pengalaman yang benar-benar kami jalani berdua.


Estimasi Budget ala Perjalanan Hemat

Kalau bicara soal budget, tentu saya ingin yang hemat tapi tetap nyaman, apalagi karena bepergian dengan Mama. Dari berbagai catatan perjalanan orang lain, saya kira-kira menyusun perkiraan biaya untuk 4 hari 3 malam di Bangkok:

  • Penginapan: Hotel bintang 3 di area Pratunam atau Sukhumvit, sekitar Rp 300–500 ribu per malam. Kalau dihitung untuk 3 malam, totalnya sekitar Rp 900 ribu sampai Rp 1,5 juta.

  • Makan: Di Thailand banyak sekali pilihan makanan murah dan enak. Kalau dihitung rata-rata Rp 80–150 ribu per hari, total selama 4 hari mungkin sekitar Rp 400–600 ribu.

  • Transportasi: Mengandalkan BTS/MRT dan sesekali Grab, ditambah tiket kereta ke Ayutthaya, saya kira sekitar Rp 400–600 ribu sudah cukup.

  • Tiket masuk wisata: Grand Palace, Wat Pho, Wat Arun, dan beberapa tempat lain butuh tiket. Totalnya tidak lebih dari Rp 200–300 ribu.

  • Oleh-oleh atau belanja ringan: Ini tentu fleksibel, tapi saya kira setidaknya Rp 300–500 ribu untuk berjaga-jaga.

Kalau dijumlah, biaya perjalanan (di luar tiket pesawat) berkisar Rp 3–4 juta per orang. Angka ini menurut saya cukup masuk akal untuk perjalanan singkat yang nyaman, tanpa harus berlebihan, tapi tetap bisa menikmati pengalaman jalan-jalan di luar negeri bersama orang tersayang.


Dengan estimasi ini, saya merasa perjalanan ke Thailand bukan hal yang mustahil. Bukan sekadar liburan, tapi juga bentuk hadiah kecil untuk Mama, karena akhirnya saya bisa mengajaknya merasakan suasana negara lain—dengan cara yang sederhana tapi penuh makna.


0 komentar:

Rencana jalan-jalan bersama mama

 

Hari Pertama: Menyapa Bukit Bintang

Setelah sampai di hotel dan check-in, kami akan istirahat sebentar sebelum keluar. Karena lokasinya strategis, rencananya sore itu kami cukup berjalan kaki menuju Pavilion Mall atau Lot 10 Mall. Mall-mall ini bukan sekadar tempat belanja, tapi juga nyaman untuk sekadar cuci mata atau ngopi santai.

Malamnya, saya ingin mengajak mama berjalan ke Jalan Alor, pusat kuliner malam Kuala Lumpur yang terkenal. Menikmati suasana lampu-lampu malam dan mencoba makanan lokal di sana sepertinya akan jadi pembuka perjalanan yang seru.


Hari Kedua: Menara Kembar & Jejak Sejarah

Pagi hari, kami akan naik Monorel dari Bukit Bintang lalu lanjut dengan LRT menuju KLCC. Tujuan utamanya tentu saja Menara Kembar Petronas. Saya ingin mengajak mama berfoto di depan ikon Malaysia ini, lalu berjalan santai di Taman KLCC. Setelah itu, kami bisa masuk sebentar ke Suria KLCC Mall untuk makan siang atau sekadar beristirahat.

Siangnya, rencana berikutnya adalah menuju Masjid Jamek dan Dataran Merdeka dengan LRT. Area ini kaya akan bangunan bersejarah dan suasananya lebih tenang. Jika mama masih kuat, saya ingin melanjutkan ke Masjid Negara, mungkin dengan Grab agar tidak terlalu melelahkan.

Malamnya, kami akan kembali ke Bukit Bintang. Pilihan makan malam bisa di Lot 10 Hutong Food Court yang terkenal dengan kuliner khas Malaysia.


Hari Ketiga: Alam Tenang Sebelum Pulang

Hari terakhir, saya ingin suasana yang lebih santai. Dari Bukit Bintang MRT, kami akan menuju Muzium Negara Station, lalu berjalan sebentar ke Perdana Botanical Garden. Taman ini luas, rindang, dan cocok untuk jalan pagi sebelum pulang. Jika waktunya cukup, saya juga ingin mengajak mama melihat KL Bird Park, tapi ini sifatnya opsional.

Setelah itu, kami akan kembali ke hotel untuk mengambil koper dan langsung menuju bandara dengan KLIA Ekspres dari KL Sentral.


Kenapa Rencana Ini Dibuat Santai?

Saya menyusun perjalanan ini dengan mempertimbangkan kenyamanan mama. Saya tidak ingin jadwal terlalu padat, cukup 2–3 tempat per hari. Bagi saya, liburan dengan orang tua bukan soal berapa banyak destinasi yang bisa dicapai, tapi bagaimana membuat perjalanan terasa menyenangkan, tidak melelahkan, dan tetap berkesan.

Saya berharap rencana kecil ini bisa segera terwujud, dan saya bisa berbagi cerita nyata nanti setelah benar-benar menjalankannya. Untuk sekarang, inilah rencana yang saya simpan dulu—sebagai pengingat bahwa saya dan mama berhak punya momen berdua yang hangat, sederhana, tapi istimewa. 

0 komentar:

Belanja Suistanable Product

 Belanja, siapa sih yang tidak suka? Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika membawa pulang barang baru. Tapi akhir-akhir ini aku mulai bertanya pada diri sendiri: apakah belanja yang kulakukan selama ini sudah bijak? Apakah barang yang kubeli hanya menambah tumpukan di rumah, atau benar-benar berguna dan punya dampak baik?

Dari situ aku mulai mengenal konsep sustainable product—produk yang lebih ramah lingkungan, lebih tahan lama, dan diproduksi dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Belanja berkelanjutan bukan berarti kita sama sekali berhenti belanja, tapi lebih kepada bagaimana kita memilih.

Misalnya, saat memilih baju. Aku dulu sering tergoda dengan tren fast fashion, beli karena murah atau lucu, lalu cepat bosan dan akhirnya jarang dipakai. Sekarang aku mencoba memilih baju dengan bahan yang lebih awet, model yang timeless, meskipun harganya sedikit lebih mahal. Rasanya ada kepuasan berbeda: tidak sekadar punya yang baru, tapi juga tahu bahwa aku sedang berusaha mengurangi sampah tekstil.

Atau ketika membeli kebutuhan rumah tangga. Dulu aku tidak terlalu peduli kemasannya, sekarang aku mulai melirik produk isi ulang (refill), atau yang menggunakan bahan ramah lingkungan. Memang kecil, tapi aku percaya setiap langkah kecil bisa memberi dampak kalau dilakukan terus-menerus.

Belanja sustainable juga melatih qona’ah—merasa cukup. Karena saat kita lebih bijak memilih, kita jadi lebih sadar mana yang benar-benar dibutuhkan, mana yang hanya keinginan sesaat.

Dan ternyata, ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita coba untuk mulai belanja lebih berkelanjutan:

  • Membawa tas belanja sendiri, supaya tidak terus menambah plastik sekali pakai.

  • Lebih memilih produk lokal, karena selain mendukung UMKM, jejak karbonnya lebih kecil daripada barang impor.

  • Membeli barang dengan kualitas baik meski harganya sedikit lebih mahal, supaya tidak cepat rusak dan berakhir jadi sampah.

  • Memanfaatkan produk isi ulang atau refill station yang sekarang mulai banyak bermunculan.

Mungkin tidak mudah mengubah kebiasaan, apalagi ketika godaan diskon dan tren baru terus menggoda. Tapi setiap kali aku ingat betapa menumpuknya sampah di TPA, atau bagaimana bumi ini semakin sesak, aku jadi termotivasi untuk lebih bijak.

Belanja sustainable bukan hanya tentang gaya hidup, tapi juga tentang tanggung jawab. Tanggung jawab pada diri sendiri, pada generasi setelah kita, dan pada bumi yang kita tinggali bersama.

0 komentar:

FOMO

 Kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa kita sering sekali sulit mengendalikan FOMO—fear of missing out. Rasanya selalu ingin ikut tren, ingin mencoba yang terbaru, ingin terlihat update. Seolah kalau tidak ikut, kita ketinggalan kereta, dianggap “nggak gaul”, atau malah takut dipandang sebelah mata.

Aku perhatikan, banyak juga yang akhirnya mengejar validasi orang lain. Berlomba-lomba menjadi si paling branded, si paling ngerti, si paling update. Kita membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat punya. Kita ikut obrolan bukan karena paham, tapi karena takut dianggap asing. Kadang, semua itu bukan tentang diri kita, melainkan tentang bagaimana orang lain melihat kita.

Padahal kalau dipikir, sampai kapan kita bisa memenuhi standar orang lain? Bukankah selalu ada yang lebih branded, lebih pintar, lebih kaya, lebih segalanya? Mengejar validasi orang lain itu seperti berlari di treadmill: capek, tapi tidak pernah benar-benar sampai ke mana-mana.

Aku belajar bahwa mengendalikan FOMO butuh keberanian untuk berkata, “cukup.” Berani berhenti ketika hati sudah tahu bahwa itu bukan kebutuhan, hanya keinginan untuk dipuji. Berani memilih jalan yang tidak selalu ramai, asal sesuai dengan nilai dan kemampuan diri.

Ada ketenangan tersendiri ketika kita mulai hidup apa adanya. Saat tidak lagi berlomba menjadi si paling ini atau si paling itu, melainkan cukup menjadi diri sendiri. Karena pada akhirnya, yang paling tahu tentang kita bukan orang lain, tapi diri kita sendiri. Dan yang paling berhak menilai kita bukan manusia, tapi Allah.

Jadi, mungkin yang lebih penting bukan bagaimana dunia memandang kita, tapi bagaimana kita memandang diri kita sendiri.

0 komentar:

Rindu ke Baitullah

 Ada rasa sesal yang sampai sekarang masih terasa. Waktu itu aku berangkat umroh bersama mama. Aku ingin sekali bisa mendoakan yang terbaik untuk papa, bahkan mengumrohkan beliau. Tapi ternyata, fisikku tidak cukup kuat. Aku tidak menjaga kesehatan sebelum berangkat, tidak disiplin berolahraga, dan akhirnya tubuhku melemah saat di tanah suci. Rasanya perih sekali. Aku merasa gagal, merasa tidak maksimal menjalani ibadah yang sebenarnya sangat aku rindukan.

Di antara rasa sesal itu, aku belajar sesuatu. Bahwa ibadah bukan hanya soal niat, tapi juga kesiapan jasmani. Bahwa menjaga tubuh adalah bagian dari amanah Allah. Aku baru sadar, seandainya sejak awal aku merawat kesehatan lebih serius, mungkin aku bisa lebih tenang, lebih kuat, dan bisa memberikan yang terbaik.

Namun aku tahu, Allah Maha Tahu isi hati hamba-Nya. Meski aku tidak bisa mengumrohkan papa waktu itu, aku tetap menggantungkan doa, menitipkan rindu, memohon agar pahala umroh yang sederhana itu Allah catatkan juga untuknya. Dan aku terus berdoa, semoga suatu hari nanti aku diundang kembali ke Baitullah. Kali ini dengan tubuh yang lebih siap, hati yang lebih ikhlas, dan langkah yang lebih kuat.

Kadang hidup memang memberi kita penyesalan, tapi penyesalan itu bisa jadi cambuk untuk memperbaiki diri. Aku ingin belajar dari pengalaman itu—bahwa menjaga kesehatan bukan sekadar rutinitas, tapi bekal agar ketika Allah memanggil lagi, aku siap sepenuhnya.

0 komentar:

Minimalism dan Qona’ah: Antara Ruang di Lemari dan Ruang di Hati

 Belakangan ini aku sering melihat orang membicarakan soal minimalism. Banyak konten di YouTube, Instagram, bahkan buku-buku best seller yang mengangkat tema ini. Katanya, hidup minimalis itu adalah seni memilah, membuang yang tidak penting, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar memberi makna. Tidak berlebihan, tidak menumpuk barang, tidak hidup dalam kejaran gaya hidup konsumtif.

Aku setuju, ada nilai yang baik dalam paham minimalism. Ia mengajarkan kita untuk sadar bahwa kebahagiaan tidak datang dari banyaknya barang yang kita miliki. Bahwa rumah yang penuh barang belum tentu membawa ketenangan, kadang justru membuat sesak. Bahwa hidup sederhana bisa memberi ruang lebih lega untuk bernapas.

Tapi di sisi lain, aku juga merenung. Bukankah sejak lama Islam sudah mengajarkan hal yang mirip, bahkan lebih dalam maknanya? Itulah yang disebut qona’ah. Bedanya, kalau minimalism di Barat sering lahir dari kejenuhan pada konsumerisme, qona’ah justru lahir dari rasa syukur.

Qona’ah bukan sekadar membatasi diri dari membeli barang atau mengurangi gaya hidup. Qona’ah adalah sikap hati: merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Kalau rezeki yang datang sedikit, kita tetap syukuri. Kalau banyak, kita kelola dengan bijak dan berbagi. Ada dimensi spiritual yang lebih menenangkan. Karena pada akhirnya, bukan sekadar soal jumlah barang atau seberapa “rapi” hidup kita, tapi seberapa ikhlas hati menerima takdir Allah.

Aku jadi ingat, ada momen ketika aku ingin sekali membeli gadget terbaru. Di timeline, iklannya muncul terus. Di sekelilingku, banyak teman yang sudah menggunakannya. Rasanya ada dorongan kuat untuk ikut membeli. Tapi kemudian aku bertanya pada diriku: “Apakah aku benar-benar butuh? Apakah yang ada sekarang tidak cukup?” Dari situ aku belajar qona’ah. Aku menahan diri, menggunakan yang ada, dan ternyata memang masih mencukupi untuk semua kebutuhan kerjaku.

Contoh lain, saat berbelanja bulanan. Minimalism mungkin akan menyarankan: beli secukupnya, jangan menimbun. Qona’ah pun mengajarkan hal yang sama, tapi dengan tambahan rasa syukur: tidak semua orang diberi kemampuan berbelanja, maka gunakan rezeki ini secukupnya, jangan berlebihan, dan sisakan untuk berbagi dengan yang membutuhkan.

Atau dalam pekerjaan, ada masa ketika aku merasa “kurang” dibandingkan orang lain—gaji mereka lebih besar, jabatan mereka lebih tinggi. Di situlah qona’ah menjadi pelajaran yang menenangkan. Aku belajar untuk menghargai apa yang sudah Allah titipkan padaku, mengelolanya dengan baik, dan berhenti membandingkan.

Minimalism mungkin bisa memberi ruang lega di lemari, tapi qona’ah memberi ruang lega di hati. Minimalism bisa mengurangi stres karena beban barang, tapi qona’ah bisa mengurangi stres karena beban dunia.

Aku tidak menolak minimalism, karena bagaimanapun ia membawa pesan yang baik: jangan berlebihan, fokus pada esensi. Tapi aku lebih memilih qona’ah sebagai panduan. Karena di dalamnya ada syukur, ada tawakal, ada rasa percaya bahwa Allah-lah yang mencukupkan.

0 komentar:

Benarkah Medsos Mendengar Gumaman Kita?

 Pernah nggak sih, kita cuma bergumam tentang sesuatu, lalu tiba-tiba iklannya muncul di beranda medsos? Rasanya seperti ada telinga yang mengintai, mendengarkan setiap kata, lalu menyajikannya kembali dalam bentuk promosi. Aku sering merasa begitu.

Awalnya aku pikir, jangan-jangan memang mikrofon di ponsel ini selalu menyala, menguping tanpa izin. Tapi setelah kupelajari, sebenarnya bukan itu. Medsos tidak benar-benar mendengar gumaman kita. Mereka tidak perlu melakukannya. Algoritmanya sudah terlalu canggih, bahkan bisa menebak apa yang kita butuhkan sebelum kita sendiri menyadarinya.

Caranya sederhana tapi menakutkan juga. Dari apa yang kita klik, apa yang kita cari, berapa lama kita berhenti di sebuah postingan, siapa teman kita, di mana kita berada, semua itu direkam. Lalu AI meramunya menjadi pola. Kalau kita baru saja mencari tiket perjalanan, tiba-tiba muncul iklan koper. Kalau teman dekat kita suka belanja skincare, tak lama produk serupa mampir juga di timeline kita.

Dan kita pun terheran-heran, “kok pas banget, ya?” Padahal itu bukan kebetulan. Itu algoritma yang sedang bekerja.

Aku jadi berpikir, sehebat itulah teknologi sekarang. Tapi di sisi lain, ada pertanyaan yang terus mengganggu: di mana batas privasi kita? Apakah kita masih punya ruang untuk benar-benar bebas memilih, atau sebenarnya kita hanya diarahkan oleh algoritma yang tahu kelemahan dan kebutuhan kita?

Mungkin jawabannya kembali ke kesadaran kita sendiri. Bahwa tidak semua yang muncul di layar harus kita ikuti. Bahwa kita tetap punya kendali untuk berkata “tidak” pada iklan yang berseliweran. Bahwa meskipun algoritma bisa menebak, pada akhirnya kita yang menentukan.

Merdeka di era digital bukan berarti bebas dari algoritma, tapi sadar bagaimana kita menggunakannya.

0 komentar:

Wakil Rakyat seharusnya Merakyat #lagu

 Sibuknya negara ini. Barusan lewat di Thread Ig, kalau mau jadi anggota DPR harus lulus S2, lulus TKD, lulus psikotes. Wah kok setuju ya... Mereka wakil rakyat, ya harus pinter, karena mau membangun bangsa. Kalau perlu ditambah syarat, sudah ada bukti pengaruh dan manfaatnya ke masyarakat. Jangan hanya awardee LPDP saja yang harus membuat esai mengenai kontribusinya untuk negara ini. Yang mereka dapatkan toh cuma biaya sekolah dan biaya hidup.. Ga ada dana aspirasi yang mereka bawa.

Mungkin ini terpicu dari hasil wawancara seorang anggota DPR di TV Nasional, yang tidak mau disamakan dengan rakyatnya. Merasa gajinya harus besar. Dan mengatakan host yang mewancarainya cacat pikiran. Dari data begitu banyak masyarakat yang diwakili oleh WAKIL RAKYAT ini memang hidup di garis kemiskinan, berapa banyak lulusan perguruan tinggi yang hanya mendapatkan gaji 2juta-3juta. Rakyat kecil gaji kecil atau upah kecil inilah yang ikut memilih wakil rakyat terhormat ini. Dengan himbauan pakailah gak konstitusinya, dapatkan wakil rakyat yang bisa menyampaikan aspirasi kalian. Melihat keadaan sekarang, wajarkah mereka marah? 

Apa yang dipertontonkan sekarang, gaji mereka atau tunjangan mereka naik, atau mereka joget, atau sibuk klarifikasi, sibuk dari satu podcast ke podcast lain, sibuk ke TV, untuk menyampaikan ga jadi naik, ga ada yang mereka terima. Lalu ucapan siapa yang harus masyarakat percaya??? 

Kata-kata mereka tidak sejalan dengan perbuatan. Masyarakat makin tercekik. Sampai ada hastag #janganbayarpajak, saking muaknya masyarakat melihat wakil rakyatnya, kluarganya, aparat yang digaji dengan uang pajak sibuk flexing, sibuk menyampaikan ke khalayak media sosial berapa berhasilnya mereka memakai uang, mendapatkan fasilitas pengawalan mulai dari ke salon sampai ke luar negeri dengan alasan menemani anak lomba. Bahkan ada kepala lembaga suatu daerah, mengeluarkan surat tugas dengan kop surat resmi untuk ASN jadi panitia pernikahan anaknya. Tapa surat tugas itu semua, bila terbangun rasa kekeluargaan, ada anak kolega yang menikah, menjadi panitia pun ga masalah, yang penting jangan dipakai uang rakyatnya pak. 

Belum lagi ada anggota DPR karena tidak punya kemampuan publik speaking yang mumpuni justru menambah kemarahan rakyat. Kami tidak apa-apa di demo, lah pas di demo mereka disemprot gas air mata (sepertinya odol laku keras di masa demo ini), pas demo ojol terlindas mobil aparat. Jadi demo yang kami lihat sekarang ojol vs DPR. Yang awalnya bukan hanya mewakili satu profesi saja. Tapi ya sudahlah, semoga bisa selesai masalah ini satu pernsatu. 

Dengan hijaunya atau orangenya atau kuningnya jalanan, dengan seragam para ojol, ini menunjukkan profesi ini banyak digeluti oleh rakyat yang memilih wakil rakyat yang terhormat. Tanggal 28 Agustus sebenarnya juga ada demo para buruh, setiap demo mereka juga rame sekali. Artinya, itulah pekerjaan pekerjaan rakyat yang diwakilkan oleh Bapak Ibu yang duduk di ruang ber AC di gedung DPR. 

Kalaulah syarat di atas disahkan. Kebayangkan calon anggota DPR akan belajar dengan giat di bangku sekolah dan kuliah, kalau sudah lulus dan punya ijazah akan sibuk bimbel sana- sini, Bimbel TKD untuk calon DPR. Bimbel public speaking untuk calon DPR, Bimbel Psikotest untuk calon DPR. Dan banyak bimbel lagi agar mereka belajar sebelum jadi anggota. DPR. Bukan belajar setelah jadi anggota DPR. Bayangkan betapa banyak lapangan kerja yang terbentuk dengan banyaknya bimbel yang terbentuk. Betapa banyak guru-guru bisa side job sebagai pengajar bimbel anggota DPR. Guru-guru honorer juga bisa ikutan karena masih belum diangkat juga sebagai PNS. Woow kan. Gaji mereka yang kecil yang disampaikan menteri keuangan sebagian "beban negara", bisa membantu diri mereka sendiri untuk hidup lebih layak. 

Tapi eh tapi kalau udah ada test test gini.. Bakal ada ada calo ga ya? 🫢


0 komentar:

Wacana dan Rencana: Beda tapi Sering Tertukar

 


Wacana: Ide yang Masih Mengambang
Rencana: Wacana yang Berubah Jadi Tindakan
x

Beberapa waktu lalu aku lagi ngobrol sama teman tentang proyek yang mau kami jalani. Saat itu temanku bilang,

“Ah, ini cuma wacana aja sih, belum jadi rencana.”

Aku langsung terhenti sejenak. Sebenarnya, apa sih bedanya wacana dan rencana? Dan kenapa kita sering salah kaprah menggunakannya?

Wacana itu seperti ide-ide yang bertebaran di kepala atau dibicarakan di meja kopi. Ia belum punya bentuk konkret, belum ada langkah yang jelas. Bisa jadi wacana muncul dari obrolan santai, brainstorming, atau bahkan komentar spontan di grup chat.

Contohnya: kamu bilang, “Kayaknya seru kalau kampus kita bikin program literasi digital.” Itu masih wacana. Belum ada yang menulis proposal, belum ada timeline, dan belum ada yang benar-benar mulai mengeksekusi.

Wacana itu penting—karena dari wacana, ide-ide segar bisa muncul. Tapi wacana juga gampang hilang kalau tidak ditindaklanjuti.

Rencana adalah wacana yang sudah “dibekukan” menjadi langkah-langkah konkret. Di sini, ide mulai diberi bentuk: siapa yang mengerjakan, kapan dimulai, dan apa target akhirnya.

Kalau pakai contoh sebelumnya, rencana dari wacana literasi digital bisa jadi:

  1. Membuat tim inti program.

  2. Menyusun proposal kegiatan.

  3. Menentukan jadwal workshop selama 3 bulan.

  4. Menetapkan indikator keberhasilan program.

Rencana itu jelas, terstruktur, dan siap dijalankan. Tanpa rencana, wacana akan tetap terapung-apung, menarik tapi sulit diwujudkan.

Refleksi Pribadi

Aku pernah mengalami fase “cuma wacana” selama berbulan-bulan. Aku punya banyak ide, banyak ngobrol, banyak inspirasi, tapi tidak ada yang benar-benar bergerak. Rasanya seru tapi juga bikin frustasi. Baru ketika aku mulai menulis langkah konkret, membuat timeline kecil, dan menetapkan target harian, wacana itu akhirnya berubah jadi rencana yang bisa dijalankan.

Dari pengalaman itu, aku belajar: wacana itu energi, rencana itu arah. Keduanya penting. Tanpa wacana, rencana kering dan kaku. Tanpa rencana, wacana hanyalah angan-angan.

Jadi, kalau kamu lagi ngobrol sama teman atau membahas proyek, ingatlah:

  • Wacana itu ide yang masih bebas dan mengalir.

  • Rencana itu wacana yang sudah dikunci menjadi langkah nyata.

Kalau bisa mengelola keduanya dengan baik, ide yang awalnya cuma wacana bisa jadi rencana yang berjalan, dan siapa tahu akan membawa perubahan nyata.

0 komentar: