Perjalanan...

 Hari ini akhirnya tiba juga. Hari yang selama ini aku siapkan dengan penuh harap, penuh doa, dan penuh ketegangan. Wawancara dengan Prof. Harrina dan dr. Wresti untuk seleksi S3 bukan sekadar sebuah tahap ujian, tapi seperti babak penting dalam perjalanan panjang menuju cita-citaku.

Aku masih ingat bagaimana beberapa minggu terakhir terasa begitu padat. Antara tugas kampus, penelitian hibah, dan jadwal praktik di klinik, aku mencoba menyisihkan waktu untuk belajar, menyusun kembali niat, dan melatih kepercayaan diri. Rasanya seperti maraton yang tidak hanya menguji kemampuan akademik, tapi juga ketahanan mental.

Pagi tadi, sebelum wawancara, aku berusaha menenangkan diri. Kubaca ulang proposal, kuingat-ingat lagi alasan mengapa aku ingin melanjutkan S3. Bukan semata untuk gelar, tapi karena aku ingin berkontribusi lebih — terutama dalam bidang pendidikan kedokteran, yang sudah menjadi bagian dari hidupku.

Saat nama dipanggil, jantungku berdebar lebih cepat. Tapi entah mengapa, begitu melihat wajah ramah Prof. Harrina dan dr. Wresti di layar, rasa gugup itu perlahan berkurang. Mereka tidak hanya bertanya, tapi juga menggali, menantangku untuk berpikir lebih dalam tentang riset yang ingin aku lakukan. Ada rasa takut, tapi juga rasa syukur: karena aku diberi kesempatan untuk berbicara tentang sesuatu yang benar-benar aku yakini.

Ada beberapa pertanyaan yang membuatku berpikir lama. Ada bagian yang mungkin belum kujawab sebaik yang seharusnya. Tapi di sisi lain, aku merasa wawancara ini bukan sekadar “ujian masuk”. Ia adalah cermin — untuk melihat seberapa siap aku melangkah, seberapa dalam aku mengenal bidang yang ingin kutekuni.

Selesai wawancara, aku menutup laptop dengan perasaan campur aduk. Lega, lelah, tapi juga haru. Perjalanan menuju S3 ini terasa seperti menapaki tangga panjang, satu per satu. Dan hari ini, meski belum tahu hasilnya, aku merasa sudah melangkah lebih jauh dari sebelumnya.

Aku belajar bahwa persiapan bukan hanya soal membaca jurnal atau menyiapkan jawaban, tapi juga tentang menyelaraskan niat. Bahwa yang terpenting bukan sekadar diterima, tapi siap untuk benar-benar belajar dan berkontribusi.

Dan mungkin, “siap” itu tidak selalu berarti tanpa takut. Kadang justru sebaliknya — kita tahu betul ketakutannya, tapi tetap melangkah dengan keyakinan. Karena di setiap rasa takut yang dihadapi, ada keberanian kecil yang tumbuh. Aku ingin percaya, itulah bagian dari proses menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Apapun hasilnya nanti, semoga langkah ini menjadi bagian dari perjalanan panjang yang diridhai Allah. Dan semoga, aku terus diberi kekuatan untuk berjalan, walau kadang dengan hati yang berdebar.

0 komentar: