“Kadang, daya juang bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang masih mau mencoba lagi setelah gagal berkali-kali meski dengan hati yang lelah.”
Hari Minggu kemarin, aku menjadi saksi dari sebuah percakapan yang sebetulnya sederhana antara seorang ibu dan anak laki-lakinya yang sudah duduk di semester 11. Namun seperti banyak hal dalam hidup, yang sederhana tidak selalu mudah.
Sepupuku itu, sebut saja R, sedang berjuang menyelesaikan skripsinya. Perjuangan yang sudah melewati batas waktu yang ideal, tapi bagiku, tetap sebuah perjuangan. Ia datang dengan nada lelah bukan hanya karena tugas akhir yang tak kunjung selesai, tapi juga karena hubungan dengan ibunya, tanteku, sedang renggang. Ia meminta aku hadir, bukan untuk memihak, melainkan sekadar menjadi saksi agar percakapan mereka tak berubah menjadi pertengkaran.
Di satu sisi, R ingin diakui sebagai laki-laki dewasa. Ia merasa cukup mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri, tanpa harus selalu diatur atau dibandingkan. Tapi di sisi lain, dari kacamata ibunya, kedewasaan bukan hanya soal usia atau keberanian membantah, melainkan tentang tanggung jawab tentang menyelesaikan apa yang telah dimulai. “Kalau sudah semester 11 tapi skripsi belum selesai, Mama harus gimana lagi?” begitu katanya, dengan nada yang bercampur antara marah, khawatir, dan sedih.
Aku tahu, tanteku bukan marah karena benci. Ia marah karena takut. Takut anak yang dulu selalu jadi kebanggaan kini kehilangan arah. Karena sepupuku dulu adalah anak juara selalu rangking satu, juara lomba, kebanggaan keluarga besar. Tapi kini, di tengah perjuangannya menyelesaikan skripsi, ia sempat berkata lirih kepadaku,
“Aku kadang menyesal dulu jadi juara. Karena sekarang rasanya semua orang menuntut aku jadi sempurna, tapi aku udah nggak sanggup.”
Kalimat itu seperti tamparan halus yang membuatku diam cukup lama. Kadang, kita tidak sadar bahwa prestasi di masa lalu bisa berubah menjadi beban di masa depan bukan karena prestasi itu salah, tapi karena ekspektasi yang tumbuh bersamanya terlalu berat untuk ditanggung seorang manusia yang sedang belajar menjadi dewasa.
Di tengah dua suara itu, aku melihat sesuatu yang lebih dalam: daya juang yang mulai menipis karena kelelahan dari kedua belah pihak. Anak yang merasa tidak dipahami, dan ibu yang merasa tidak didengar. Keduanya ingin saling mengerti, tapi jarak yang tercipta bukan karena cinta yang hilang, melainkan karena cara menyampaikan yang tidak bertemu di tengah.
R ingin dipercaya, Tante ingin diyakinkan. Dua hal yang tampak berbeda tapi sebenarnya sama: keduanya ingin merasa aman dalam cinta yang tidak selalu bisa diucapkan dengan lembut.
Malam itu, setelah percakapan yang cukup panjang, aku menulis satu kalimat kecil di buku catatanku:
“Daya juang bukan hanya tentang menyelesaikan skripsi, tapi juga tentang belajar memahami orang lain, bahkan ketika kita sendiri sedang ingin dipahami.”
Aku belajar bahwa setiap orang punya medan juangnya sendiri. Ada yang berjuang menghadapi tumpukan tugas kuliah, ada yang berjuang menghadapi harapan orang tua, dan ada yang berjuang menahan diri agar tetap bisa mencintai dalam perbedaan cara.
Sepupuku mengajarkan padaku bahwa kadang daya juang bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang masih mau mencoba lagi setelah gagal berkali-kali, meski harus menghadapi kecewa, marah, dan rasa tidak dimengerti.
Dan aku juga belajar dari tanteku, bahwa kasih seorang ibu sering kali datang dalam bentuk yang keras, bukan karena ingin melukai, tapi karena takut kehilangan arah yang dulu dibangun dengan air mata dan doa.
Mungkin, keduanya hanya butuh sedikit jeda — dan ruang untuk mendengar, bukan sekadar berbicara. Karena di antara dua hati yang sama-sama lelah, kadang yang paling dibutuhkan bukan nasihat, tapi pelukan yang berkata: “Aku masih percaya kamu bisa.”

0 komentar: