Seri 13 – Revisi Proposal: Saat Kita Meluruskan Arah dan Belajar Jadi Ilmuwan yang Lebih Dewasa

 

Ada masa setelah sidang proposal ketika kampus mulai kembali sepi, teman-teman sudah pulang, dan kamu duduk sendiri menatap lembar notulen revisi yang tampak… panjang sekali.

Di momen itu, banyak mahasiswa merasa: panik, malu, kecewa, atau bingung harus mulai dari mana.

Revisi proposal memang sering jadi “pukulan kecil” setelah presentasi penuh tegang.
Tapi kamu perlu tahu satu hal penting:

Revisi bukan bukti kamu salah. Revisi adalah bukti bahwa penelitianmu berharga untuk diperbaiki.

1. Setelah Sidang: Perasaan Campur Aduk Itu Normal

Beberapa mahasiswa keluar ruang sidang dengan senyum lega, tapi setelah baca notulen revisi langsung berkata:

“Loh… kok banyak banget?”

Ada juga yang merasa: “Aku salah pilih topik ya?” “Dosenku nggak suka sama aku?” “Ini revisi atau rombak total?”

Tenang.
Semua mahasiswa mengalami fase itu, termasuk orang-orang yang kini sudah bergelar S2 dan S3.

Proposalmu bukan salah.
Proposalmu hanya perlu diluruskan.

2. Revisi Proposal Itu Bukan Hukumannya Sidang

Banyak mahasiswa berpikir revisi adalah “balasan” karena jawaban mereka kurang bagus saat sidang.

Padahal yang sebenarnya:

✔ Revisi memastikan metode yang kamu gunakan valid dan aman
✔ Revisi memastikan penelitianmu bisa dijalankan
✔ Revisi menjaga agar hasil penelitianmu punya arah yang jelas

Dosen memberikan revisi karena mereka peduli.
Mereka tidak ingin kamu kesulitan di tahap berikutnya (kaji etik atau pengumpulan data).

Baca Semua Catatan—Tapi Jangan Sekali Duduk

Kesalahan banyak mahasiswa:
membaca semua revisi langsung dalam satu waktu.

Hasilnya?

  • overwhelmed

  • bingung

  • takut

  • akhirnya ditunda berhari-hari

Cara yang lebih sehat:

Pertama, baca cepat tanpa berpikir
Kedua, baca ulang pelan sambil memberi tanda
Ketiga, bagi revisi menjadi kategori

Kategori revisi:

  • Revisi ringan: typo, judul subbab, ejaan

  • Revisi sedang: tambah referensi, perbaikan latar belakang

  • Revisi besar: ubah tujuan, ubah metode, perbaiki variabel

Dengan cara ini, revisi tidak akan lagi terlihat seperti monster besar.

4. Mulai dari Revisi yang Termudah

Alasan revisi terasa berat adalah karena otak ingin semuanya selesai sekaligus.

Padahal kuncinya:

Mulailah dari revisi yang membuatmu merasa “bisa”.

Contoh:

  • perbaiki kalimat pembuka

  • menambah definisi operasional

  • memperjelas tujuan khusus

  • memperbaiki struktur kalimat

Saat bagian kecil selesai, kamu akan merasa punya kendali.

Dan perasaan itu sangat berharga.

5. Jangan Takut Menghubungi Pembimbing

Kadang catatan revisi memang membingungkan.
Misalnya:

  • “Metode kurang tepat”

  • “Sampel perlu disesuaikan”

  • “Perbaiki instrumen”

Kalau kamu tidak paham, jangan menebak-nebak.

Tanyakan dengan sopan:

“Bu/Pak, saya sudah membaca catatan poin C. Apakah maksudnya saya perlu menyesuaikan jumlah sampel atau hanya memperjelas definisi variabel?”

Dosen akan menghargai ketepatan pertanyaanmu.
Dan revisimu akan jauh lebih cepat selesai.

6. Revisi Adalah Fondasi untuk Kaji Etik dan Penelitian Lapangan

Ada mahasiswa yang malas memperbaiki proposal, lalu terkena dampaknya saat:

  • mengurus kaji etik,

  • membuat instrumen,

  • mencari sampel,

  • menganalisis data.

Karena proposal tidak kuat, semuanya ikut goyah.

Revisi proposal itu ibarat pondasi rumah:

Kalau pondasinya kokoh, seluruh bangunan penelitian berdiri dengan tenang.

7. Penutup: Revisi Itu Menguatkan, Bukan Melemahkan

Revisi mengajarkan banyak hal: kesabaran, kedewasaan berpikir, kemampuan menerima kritik, kemampuan memperbaiki diri, kemampuan menyederhanakan hal rumit

Dan yang paling penting: Revisi membuat penelitianmu lebih tajam.  Lebih terarah. Lebih masuk akal. Lebih siap untuk dipertahankan di sidang akhir nanti.

Jadi, kalau kamu saat ini sedang duduk dengan notulen revisi di tangan, ingatlah:

Itu bukan daftar kesalahanmu. Itu adalah peta jalan menuju penelitian yang lebih baik.

Dan kamu mampu menjalani tahap ini, seperti tahapan sebelumnya.

0 komentar: