Hari ini, Indonesia genap berusia 80 tahun. Angka yang besar, tanda perjalanan panjang sebuah bangsa. Aku jadi teringat, ketika kecil kemerdekaan selalu identik dengan lomba 17-an: tarik tambang, panjat pinang, makan kerupuk. Semua seru, semua penuh tawa. Tapi sekarang, di usia yang semakin dewasa, aku mulai merenung—apa sebenarnya makna merdeka di hari ini?
Dulu, merdeka berarti bebas dari penjajahan. Namun hari ini, arti merdeka lebih luas. Merdeka berarti berdaulat atas pikiran, pilihan, dan arah hidup kita. Merdeka bukan hanya tentang bangsa, tapi juga tentang diri sendiri: bagaimana aku bisa jujur pada panggilan hati, bagaimana aku bisa berkarya tanpa merasa terikat oleh rasa takut, dan bagaimana aku bisa terus memberi manfaat melalui profesiku sebagai dokter dan dosen.
Indonesia memang sudah maju. Aku bisa melihat itu dari kampusku: akses teknologi semakin mudah, mahasiswa bisa belajar dari berbagai sumber digital, bahkan riset-riset kesehatan mulai menggandeng data besar dan teknologi analitik. Tapi di sisi lain, aku juga melihat PR besar. Masih ada kesenjangan antara mereka yang mudah mengakses ilmu dengan mereka yang terbatas. Masih ada masalah literasi, baik literasi kesehatan, literasi digital, maupun literasi keuangan.
Sebagai dokter, aku melihat kemerdekaan dari sisi kesehatan: merdeka berarti masyarakat punya akses untuk hidup sehat, bukan hanya terbebas dari penyakit tapi juga sadar untuk menjaga dirinya. Sebagai dosen, aku melihat kemerdekaan dari sisi pendidikan: merdeka berarti mahasiswa punya ruang untuk tumbuh, bereksperimen, dan belajar dengan caranya sendiri, tanpa selalu terikat kaku pada aturan yang membatasi kreativitas.
Aku juga tak bisa menutup mata pada kondisi alam kita. Indonesia kaya raya, tapi juga rapuh jika salah kelola. Aku sering merasa cemas melihat gunung sampah, polusi udara, dan kerusakan lingkungan yang makin terasa dampaknya pada kesehatan. Di sini aku merasa, merdeka juga berarti berani mengubah kebiasaan kecil dalam hidup sehari-hari. Sesederhana memilah sampah rumah tangga, mengurangi plastik sekali pakai, atau memilih jalan kaki saat memungkinkan.
Bagi aku, makna merdeka yang paling dalam adalah kemerdekaan batin. Merdeka dari rasa minder saat melihat orang lain lebih dulu mencapai sesuatu. Merdeka dari pikiran negatif yang menghambat langkahku mendaftar S3. Merdeka dari rasa takut gagal, karena aku percaya setiap langkah—meski kecil—akan dibimbing oleh Allah.
80 tahun Indonesia merdeka, aku ingin bertanya pada diriku: sudahkah aku benar-benar merdeka? Jawabannya mungkin belum sepenuhnya. Tapi aku sedang berproses. Dengan terus menulis, terus belajar, terus mengajar, aku sedang melatih diriku untuk lebih merdeka—dari dalam.
0 komentar: