Hari ke-13: Menemukan Waktu di Tengah Semua Kesibukan

 

Hari ini aku bangun sedikit lebih pagi dari biasanya. Ada dorongan dari dalam diri yang membuatku ingin membuka laptop dan melihat kembali rancangan jadwal yang kemarin kususun. Aneh ya, semakin padat aktivitas, justru aku semakin ingin merapikannya. Mungkin ini cara tubuh dan pikiranku mencari ruang napas di tengah segala yang harus dilakukan.

Kadang-kadang aku bertanya, “Apa aku terlalu ambisius?” Tapi lalu aku ingat, ini bukan soal ambisi. Ini tentang panggilan. Aku tahu betul mengapa aku ingin lanjut S3: karena aku ingin berkontribusi lebih besar di dunia pendidikan kedokteran. Bukan hanya sebagai dosen yang mengajar dan menilai, tapi sebagai seseorang yang juga punya pijakan teori, riset, dan suara dalam ranah akademik yang lebih luas.

Tapi ya… panggilan itu tidak datang di ruang hampa. Ia hadir di tengah ruang-ruang kehidupanku yang penuh: ruang kelas, ruang praktik klinik, ruang sidang penelitian, dan ruang tanggung jawab institusional. Di sela-sela semua itu, aku mencoba mencuri waktu. Lima belas menit membaca artikel. Tiga puluh menit menonton video pembelajaran TOEFL. Satu jam untuk menyusun draft proposal.

Dan hari ini, aku mulai menyicil. Bukan menyusun proposal yang lengkap, tentu. Tapi setidaknya aku mulai menuliskan kerangka pikir yang selama ini hanya bergema dalam kepala. Seperti ini draf awalnya:


Judul Sementara:

“Pengembangan Strategi Penilaian Kompetensi Mahasiswa Kedokteran pada Tahap Profesi: Studi Mixed-Methods Berbasis Model Programmatic Assessment”

Latar Belakang (Draf Awal):

Sebagai institusi pendidikan kedokteran, tuntutan untuk melahirkan lulusan yang kompeten tidak hanya terletak pada kurikulum atau metode pengajaran, tetapi juga pada bagaimana kita melakukan asesmen. Penilaian bukan sekadar instrumen pengukur, tetapi bagian dari pembelajaran itu sendiri.

Selama beberapa tahun terakhir, aku mengamati kebingungan mahasiswa dalam menghadapi penilaian di tahap profesi. Ada keraguan tentang keadilan, kurangnya umpan balik, dan kebingungan terkait standar. Di sisi lain, dosen pun menghadapi tantangan dalam menyatukan persepsi penilaian yang adil dan sesuai standar.

Model Programmatic Assessment menawarkan pendekatan yang menarik: penilaian yang bukan hanya bersifat sumatif, tetapi akumulatif dan mendukung pembelajaran sepanjang waktu. Model ini belum banyak diterapkan secara menyeluruh di Indonesia, apalagi di tahap profesi kedokteran. Ini menjadi ruang riset yang sangat relevan dan bermakna.

Pertanyaan Penelitian (sementara):

  • Bagaimana persepsi mahasiswa dan dosen terhadap asesmen kompetensi pada tahap profesi?

  • Apa saja tantangan dan peluang implementasi programmatic assessment dalam konteks institusi kedokteran di Indonesia?

  • Bagaimana desain model programmatic assessment yang feasible dan diterima oleh pemangku kepentingan?

Rasanya agak campur aduk menuliskan ini. Di satu sisi aku bahagia karena akhirnya mulai konkret. Tapi di sisi lain, muncul rasa ragu juga. “Apakah ini cukup?” “Apakah ini bisa diterima?” Tapi mungkin memang begitu prosesnya. Kita tidak menunggu keyakinan itu datang dulu, baru menulis. Justru dari menulislah, perlahan keyakinan itu dibangun.

Hari ini, aku tidak hanya berusaha menemukan waktu. Tapi juga keberanian untuk memulai.

Saya mencoba memperdalam lagi:

Hari ini aku memilih hadir lebih awal: menyalakan laptop, membuka dokumen proposal yang selama ini cuma muncul sebagai ide kabur, dan akhirnya menuliskannya pelan-pelan. Aku sadar siapa pun tak akan menunggu kesiapan sempurna untuk memulai. Dan aku ingin memulai sekarang, walau sedikit.

✍️ Draft Awal Proposal

Judul Sementara:
“Pengembangan Strategi Penilaian Kompetensi Mahasiswa Kedokteran pada Tahap Profesi: Studi Mixed‑Methods Berbasis Model Programmatic Assessment

Latar Belakang (Draf Awal):
Aku melihat selama ini, penilaian di tahap profesi seringkali bersifat sumatif dan tidak memberi ruang bagi proses belajar berkesinambungan. Mahasiswa merasa penilaian itu sebagai akhir, bukan bagian penting dari proses belajar. Referensi terkini dari Indonesia—seperti penelitian di beberapa fakultas kedokteran di Surabaya—mengindikasikan bahwa komponen pendukung seperti refleksi dan umpan balik masih sangat minim dalam sistem asesmen saat ini.ETD UGM

Programmatic Assessment, dengan lima komponennya (aktivitas pembelajaran, penilaian, pendukung, evaluasi tengah, final), menawarkan pendekatan holistik dan progresif atas kompetensi. Studi oleh Greviana dkk. dari FKUI menyebut bahwa penerapan model ini masih sangat terbatas dan memerlukan adaptasi konteks lokal.Journal UGMJournal UGM

Meskipun banyak kasus global—seperti implementasi di Flinders University dan berbagai MD program Cassian—masih minim penelitian di konteks Indonesia terutama dalam program tahap profesi.MDPI

Pertanyaan Penelitian Sementara:

  1. Bagaimana persepsi mahasiswa dan dosen terhadap asesmen kompetensi pada tahap profesi di institusi ini?

  2. Apa tantangan dan kesempatan implementasi Programmatic Assessment ke dalam sistem asesmen profesi?

  3. Bagaimana pula rancangan model yang feasible dan diterima untuk mengintegrasikan asesmen formatif, coaching, refleksi, serta evaluasi tengah ke dalam tahap profesi?

Novelty dan Kontribusi:

  • Mengisi kekosongan riset konteks lokal Indonesia di tahap profesi kedokteran; mayoritas studi berlaku di tahap pre-klinik.arXiv+12Journal UGM+12MDPI+12ETD UGM+1ETD UGM+1Journal UGM

  • Memasukkan dimensi refleksi dan coaching sebagai bagian dari komponen pendukung asesmen—yang menurut data mahasiswa sangat kurang.ETD UGMJournal UGM

  • Menggunakan pendekatan mixed‑methods: kuantitatif (survei persepsi) dan kualitatif (fokus grup dosen & mahasiswa), mengadaptasi instrumen evaluasi yang sudah pernah dikembangkan sebelumnya.ETD UGM

🤔 Refleksi Pribadi

Menuliskan ini membuatku merasa seperti menemukan peta di tengah kabut. Aku tidak hanya mencari topik—tapi cara bagaimana aku bisa berkontribusi nyata dalam pendidikan kedokteran di Indonesia. Ide ini menggabungkan minatku soal asesmen klinik, nilai akademik dari Programmatic Assessment, dan prinsip humanisme/ faculty development yang sering kubaca dari karya Prof. Diantha dan Dr. Rita.

Ini bukan sekadar kerangka proposal. Ini cermin harapanku untuk jadi bagian dari peningkatan kualitas asesmen yang lebih manusiawi, reflektif, dan adaptif. Dan yang paling penting: aku memulai bukan karena aku merasa siap sempurna, tapi karena aku ingin jujur pada prosesku.

0 komentar: