Pernahkah kamu merasa, saat kuliah menghadapi tantangan yang berat, tiba-tiba terlintas pikiran: “Sepertinya aku salah jurusan.” Aku juga pernah ada di titik itu. Rasanya seperti dunia runtuh: tugas menumpuk, materi terasa asing, sementara teman-teman lain terlihat santai-santai saja. Dalam hati muncul pertanyaan yang membuat dada sesak: “Apakah aku memilih jalan yang keliru?”
Setelah kupikir-pikir, ternyata perasaan “salah jurusan” itu sering muncul bukan karena jurusan kita benar-benar salah, tapi karena ekspektasi kita berbenturan dengan kenyataan. Saat memilih jurusan, kita membayangkan hal-hal yang ideal: belajar hal yang disukai, menikmati setiap pertemuan kuliah, lulus dengan nilai baik, dan jalannya terasa mulus. Tapi begitu realitas datang—materi yang susah, dosen yang menantang, sistem yang kadang membingungkan—pikiran kita cepat menyimpulkan: “Mungkin aku tidak cocok di sini.”
Ada juga faktor psikologis lain. Banyak mahasiswa, apalagi yang perfeksionis atau terbiasa berprestasi, saat menghadapi kesulitan langsung merasa tidak cukup pintar. Ini sering disebut imposter syndrome: rasa minder yang membuat kita merasa seolah-olah tersesat di dunia yang bukan milik kita. Padahal, setiap orang punya ritme belajar yang berbeda, dan sering kali rasa sulit itu tanda kita sedang berada di kurva belajar yang curam—fase wajar sebelum akhirnya pelan-pelan mulai memahami.
Tantangan juga terasa makin berat kalau kita merasa sendirian. Tidak ada mentor, dosen yang kurang terbuka, atau sistem yang membingungkan bisa membuat jalan terasa lebih gelap. Apalagi kalau ada tekanan eksternal: ekspektasi keluarga, kondisi finansial, atau sekadar perbandingan dengan teman yang tampak lebih “mudah” menjalaninya.
Semua itu bisa bercampur menjadi rasa salah jurusan. Padahal, sering kali masalahnya bukan di jurusannya, melainkan pada situasi, cara belajar, dan cara kita memaknai kesulitan.
Saat aku merasakan ini, aku belajar membedakan antara rasa tidak nyaman dengan rasa tidak cocok. Tidak nyaman adalah bagian dari proses belajar—ibarat mendaki gunung, capek dan ngos-ngosan itu wajar. Tapi kalau setelah berkali-kali mencoba, hati tetap merasa tidak sejalan, mungkin itu baru tanda ada yang perlu dievaluasi.
Menariknya, saat aku kembali ke alasan awal memilih jurusan ini, aku menemukan fondasi yang membuatku tetap bertahan: aku ingin berkontribusi di bidang ini, aku ingin punya pijakan ilmiah yang kuat, aku ingin membantu orang lain lewat ilmu ini. Tujuan-tujuan itulah yang menolongku melewati hari-hari penuh keraguan.
Dan akhirnya aku menyadari: kuliah itu bukan hanya soal memilih jalan, tapi juga belajar berjalan di jalan itu. Kadang kita memang harus berhenti sejenak, melihat sekitar, lalu bertanya: “Apa yang bisa aku lakukan agar jalan ini terasa lebih jelas?” Kalau ternyata setelah banyak usaha hati masih merasa tidak cocok, itu pun bukan kegagalan. Itu justru keberanian untuk memilih ulang dengan lebih sadar.
0 komentar: