Kadang aku bertanya-tanya, masih adakah orang yang membaca blog di zaman serba cepat seperti sekarang? Dunia media sosial begitu riuh: ada TikTok yang menyajikan video singkat, ada Instagram dengan reels dan stories, ada YouTube yang penuh konten visual. Semua berlomba memperebutkan perhatian dalam hitungan detik.
Lalu, blog? Bukankah orang sudah malas membaca tulisan panjang?
Tapi kemudian aku sadar, blog masih punya tempatnya sendiri. Ia bukan lagi sekadar tempat curhat ala tahun 2000-an, melainkan rumah digital—tempat semua cerita dan catatan tersimpan dengan rapi, tak mudah tenggelam di arus algoritma. Kalau postingan Instagram bisa hilang di timeline, tulisan blog bisa ditemukan bertahun-tahun kemudian lewat Google.
Blog juga memberi ruang untuk bernapas panjang. Di sana aku bisa menuliskan refleksi, pengalaman, atau tutorial tanpa dibatasi durasi. Pembaca yang datang ke blog pun biasanya lebih fokus, lebih ingin belajar, atau memang mencari jawaban. Mereka berbeda dengan audiens yang sekadar lewat di TikTok.
Aku mulai melihat pola: media sosial bisa jadi pintu masuk, sementara blog tetap jadi rumah utama. Orang bisa mengenal tulisanku lewat reels singkat atau video pendek, lalu kalau tertarik, mereka akan mampir ke blog untuk membaca versi lengkapnya.
Jadi, aku tidak lagi mempertentangkan blog dengan media sosial. Keduanya saling melengkapi. Blog memberi kedalaman, media sosial memberi jangkauan.
Pertanyaan “masih adakah yang baca blog?” akhirnya kujawab sendiri: ada, asalkan aku mau merawatnya.
0 komentar: