Tentang Nonton Film, Zombie, dan Rasionalisasi

 


Minggu lalu aku menonton film My Daughter is a Zombie di bioskop. Rasanya campur aduk—ada lucunya, ada sedihnya, ada hangatnya juga. Anehnya, meskipun film ini jelas-jelas tidak rasional—mana ada sih anak yang tiba-tiba jadi zombie?—aku bisa betah nonton sampai akhir tanpa banyak protes dalam hati.

Aku kemudian membandingkan dengan pengalaman menonton film Indonesia. Entah kenapa, saat menonton film lokal, pikiranku cenderung sibuk mencari celah. Rasanya aku terlalu cepat menghakimi: “Ah, itu kurang nyambung.” atau “Masa iya begitu jalannya cerita?” Padahal, kalau dipikir-pikir, film dengan zombie pun jelas lebih tidak masuk akal, tapi aku bisa menerimanya dengan mudah.

Aku jadi bertanya pada diriku sendiri: kenapa ya begitu?

Mungkin karena film zombie dari awal memang ditawarkan sebagai fiksi penuh fantasi. Dari awal aku sudah diajak untuk masuk ke dunia yang berbeda, dunia yang memang tidak masuk logika sehari-hari. Jadi, aku pun menonton dengan pikiran terbuka, siap menerima apa pun yang ditampilkan.

Sementara film Indonesia sering mengambil latar realitas yang dekat dengan hidup kita sehari-hari. Karena terlalu dekat, aku merasa harus merasionalkan ceritanya. Aku merasa ada standar tertentu: “Kalau ceritanya tentang kehidupan orang Indonesia, maka harus masuk akal sesuai pengalamanku.” Ketika ada yang tidak nyambung, aku langsung terganggu.

Padahal, film—apa pun asalnya—selalu punya ruang imajinasi. Tidak semua hal harus dirasionalkan. Tidak semua cerita harus cocok dengan realita kita. Kadang, justru keindahan film ada pada keberaniannya melampaui logika, dan membuat kita merasakan sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam hidup nyata.

Mungkin aku perlu belajar menonton dengan hati yang lebih terbuka, tanpa selalu membawa kacamata “logika” yang kaku. Karena kadang, cerita yang paling menyentuh justru lahir dari hal-hal yang tidak masuk akal, tapi berhasil membuat kita tertawa, menangis, atau sekadar merasa “terhubung”.

0 komentar: