Menyembuhkan Diri Lewat Tulisan: Ketika Journaling Menjadi Terapi dan Cermin Diri

 


Di tengah kesibukan hidup yang kadang padatnya melebihi jadwal kereta api, aku menemukan satu ruang kecil yang terasa seperti tempat pulang: journaling.

Bukan sesuatu yang baru. Dulu waktu kecil aku menulis diary pakai buku bergembok kecil, isinya mungkin curhat remeh soal teman sebangku atau guru killer. Tapi semakin dewasa, aku sadar bahwa menulis bukan lagi soal mengabadikan kejadian—tapi soal mendengar suara diri sendiri yang kadang nyaris tenggelam dalam riuhnya dunia.

Journaling Bukan Sekadar Nulis, Tapi Merawat Jiwa

Awalnya aku mulai journaling lagi karena merasa lelah—bukan hanya secara fisik, tapi secara emosional. Ada perasaan mengganjal yang sulit diurai dengan kata-kata lisan. Lalu aku coba tuliskan. Pelan-pelan. Kadang hanya satu kalimat. Kadang satu halaman penuh.

Dan dari situ aku belajar:
journaling adalah ruang aman untuk jujur.
Tanpa harus disunting. Tanpa harus menyenangkan siapa pun. Tanpa takut dinilai.

Menulis untuk Mengenal Diri

Kadang kita sibuk menjawab pertanyaan orang lain, sampai lupa bertanya pada diri sendiri:

“Kamu kenapa sebenarnya?”
“Apa yang kamu rasakan?”
“Kamu sedang butuh apa?”

Melalui journaling, aku pelan-pelan belajar menjawab itu semua. Aku menemukan pola emosi yang sering muncul. Aku menyadari reaksi yang berulang. Aku jadi bisa melihat: oh, ternyata aku mudah tersinggung kalau merasa tak dihargai. Ternyata aku butuh waktu sendiri setelah interaksi sosial yang melelahkan. Ternyata aku rindu… hal-hal yang selama ini tak aku akui.

Journaling Sebagai Terapi Diri

Banyak ahli kesehatan mental menyebut journaling sebagai salah satu bentuk self-therapy. Bukan pengganti psikolog, tentu, tapi sebagai pendamping yang murah, mudah, dan personal.

Manfaat yang aku rasakan sendiri:

  • Mengurangi overthinking dan rasa cemas

  • Membantu menyusun pikiran saat bingung

  • Melepaskan emosi negatif tanpa melukai siapa pun

  • Menyadari apa yang sebenarnya aku butuhkan

Kadang, saat kita menulis, kita jadi lebih jernih berpikir. Apa yang semula terasa rumit di kepala, ternyata bisa dijelaskan dengan tiga paragraf dan satu tangis kecil yang melegakan.

Journaling Tidak Harus Estetik

Seringkali kita terjebak di media sosial: journaling harus pakai notebook mahal, pakai brush pen warna pastel, ada stiker lucu, dan susunan font seperti buatan desainer. Padahal, journaling sejatinya hanya butuh dua hal: jujur dan hadir.

Tulis di buku bekas pun tak apa. Di notes HP juga bisa. Yang penting: kamu sedang bersama dirimu sendiri.

Apalagi aku, tulisanku luar biasa, benar benar tulisan dokter. Seberusaha aku menulis sebaik mungkin, lama-lama juga akan keluar tulisan ynag khas aku itu. hahahh

Kalau Kamu Mau Mulai, Ini Beberapa Cara yang Bisa Dicoba:

  • 3 Hal yang Disyukuri Hari Ini
    Melatih pikiran untuk tetap melihat sisi terang. Membuat aku mensyukuri hal-hal kecil, yang menungkin sudah berjalan secara auto.

  • Apa yang Aku Rasakan Sekarang?
    Latih kepekaan emosional. Jangan buru-buru menjawab "baik" atau "capek". Coba uraikan.

  • Pertanyaan Reflektif

    • Apa hal yang membuatku gelisah akhir-akhir ini?

    • Kapan terakhir kali aku merasa benar-benar bahagia?

    • Apa yang ingin aku katakan ke diri sendiri lima tahun lalu?

  • Free writing selama 5 menit
    Tulis tanpa sensor. Apa pun yang muncul, tulis saja. Kadang dari sanalah kamu akan menemukan sisi dirimu yang terlupakan.

Akhirnya, Journaling adalah Tindakan Merawat Diri

Di dunia yang sibuk menuntut kita menjadi banyak hal, journaling adalah tindakan kecil untuk tetap menjadi diri sendiri.

Tulisan itu tak perlu dibagikan, tak harus indah, dan tak wajib konsisten. Yang penting: kamu hadir. Kamu mendengar dirimu sendiri. Kamu memberi ruang untuk merasakan, memahami, dan perlahan… menyembuhkan.

0 komentar: