Kadang aku termenung setiap kali melihat berita tentang Pandawara Group. Kagum, iya. Tapi juga... sedih. Karena yang mereka lakukan sebenarnya bukan hal yang harusnya luar biasa. Membersihkan sampah, menjaga lingkungan, itu seharusnya sudah menjadi budaya, bukan aksi luar biasa yang butuh viral untuk dilakukan.
Masalahnya, budaya itu belum tumbuh merata. Sampah masih dipandang sebagai tanggung jawab “orang lain”. Entah pemerintah, petugas kebersihan, atau komunitas sosial. Padahal, sampah itu milik kita—dari rumah kita, dari kebiasaan kita, dari pilihan-pilihan harian kita.
Ujung dari semua sampah rumah tangga kita akan bermuara di satu tempat: TPA—Tempat Pembuangan Akhir. Sayangnya, “akhir” ini bukanlah solusi. Di banyak daerah, TPA kini telah menjelma menjadi gunung sampah. Gunung yang berpolusi, mengeluarkan bau, gas metana, dan membawa risiko penyakit. Aku sering bertanya-tanya dalam hati: bagaimana nasib masyarakat yang tinggal dekat TPA? Apakah mereka harus menanggung konsekuensi dari ketidakteraturan kita semua?
Kita punya pasukan kebersihan, pasukan oranye yang tiap pagi membersihkan sisa kehidupan kota. Tapi apa mereka cukup? Tidak. Mereka hanya mengurus bagian luar—jalan, taman, pasar. Tapi di rumah-rumah kita, kita sendirilah pasukan oranye itu. Kita yang harus bertanggung jawab atas sampah kita sendiri.
Masalahnya, pengelolaan sampah rumah tangga masih jauh dari ideal. Banyak yang belum paham bagaimana memisahkan organik dan nonorganik. Bahkan yang sudah berusaha memilah, kadang frustrasi karena saat dijemput, semua malah dicampur kembali oleh petugas. Usaha memilah seperti sia-sia. Akhirnya? Numpuk lagi di TPA. Gunung sampah makin tinggi.
Aku mulai bertanya—mungkinkah ada sistem yang lebih adil dan efisien?
-
Pasukan Oranye: untuk sampah nonorganik, yang bisa dikumpulkan dan disalurkan ke pabrik daur ulang.
-
Pasukan Hijau: untuk sampah organik, yang bisa disalurkan ke pusat kompos besar milik kota.
Tapi semua kembali ke satu hal: kesadaran kita bersama.
0 komentar: