Belajar Bersyukur

 Ada masa dalam hidupku ketika aku sering melihat pencapaian orang lain dan bertanya, “Kapan aku bisa seperti mereka?” Saat itu, aku belum benar-benar memahami bahwa setiap orang punya lintasan hidupnya masing-masing. Aku hanya fokus pada hasil akhir, bukan proses di baliknya.

Titik balik itu datang dari berbagai peristiwa kecil yang ternyata saling berkaitan.
Aku pernah merasakan kehilangan, kegagalan, bahkan rasa malu karena pilihan yang kuambil tidak sesuai ekspektasi orang. Tapi justru dari situ aku belajar bahwa hidup bukan lomba kecepatan, melainkan perjalanan yang setiap orang punya jalannya sendiri.

Pekerjaanku sebagai dosen dan dokter juga menjadi guru yang tak kasat mata. Aku melihat pasien dengan kondisi berat, mahasiswa yang berjuang melawan keterbatasan, rekan kerja yang diam-diam memikul beban hidupnya. Semua itu membuatku sadar: apa yang kupunya hari ini adalah nikmat yang sering terlewat disyukuri.

Belum lagi pengalaman di bidang akademik — saat aku harus menunda rencana S3 karena amanah di kampus, atau ketika penelitianku ditolak sebelum akhirnya diterima hibah DIKTI. Semua proses itu mengajarkan bahwa rezeki selalu datang di waktu yang tepat, bukan saat aku memaksakan kehendak.

Sejak itu, aku jarang membandingkan diri dengan orang lain. Karena aku paham, setiap orang punya ujian dan berkah yang berbeda. Membandingkan hanya akan membuat kita lupa bersyukur. Yang bisa kulakukan adalah menjalani peranku sebaik mungkin, memelihara mimpi, dan percaya bahwa Allah menulis cerita hidupku dengan skenario terbaik untukku.

0 komentar: