Ada banyak film tentang perjuangan hidup. Tapi Wall to Wall terasa berbeda—karena terasa dekat. Sakitnya itu real. Tentang seseorang yang tampak seperti kita: pekerja kantoran yang mengejar “hidup ideal” di kota, lalu akhirnya jatuh ke dalam lubang yang dia gali sendiri—dengan cicilan, keinginan, dan ekspektasi.
Awalnya mungkin terasa wajar. Tapi ketika hemat berubah jadi menyiksa—mengambil air minum dari kantor, menumpang ngecas alat elektronik, bersepeda di tengah kota hanya demi menghindari ongkos—hidupnya berubah dari mapan menjadi tragis.
Yang lebih ironis? Apartemen yang dia beli ternyata berisik, tidak nyaman, dan penuh gangguan. Fasilitas yang dulu dibayangkan sebagai gaya hidup modern, tidak bisa ia nikmati. Dia terlalu lelah bekerja dan terlalu tertekan secara keuangan. Hidupnya adalah kontradiksi: terlihat “sukses” dari luar, tapi rapuh dari dalam.
Dan puncaknya: ikut trading saham demi keluar dari tekanan. Tapi alih-alih memberi solusi, itu justru membuatnya makin tertekan. Sampai akhirnya, ketika ingin mencairkan saham untuk menutup cicilan, dia pingsan… karena sedang di kantor polisi.
Apakah Kita Juga Seperti Itu?
Film ini menusuk karena kita mungkin pernah di titik itu: ingin punya rumah sendiri, ingin upgrade gaya hidup, ingin merasa “sudah berhasil”. Tapi kadang keinginan itu mendorong kita mengambil langkah keuangan yang belum siap kita tanggung.
Aku belajar tiga hal dari Wall to Wall:
1. Kepemilikan Tidak Selalu Memberi Ketenangan
Memiliki apartemen itu bukan solusi jika ternyata mengorbankan semua aspek hidup lain—kesehatan mental, kebebasan, dan keseimbangan.
2. Utang Harus Disertai Perencanaan, Bukan Ego
Utang itu tidak salah. Tapi harus masuk akal. Berutang untuk sesuatu yang produktif atau benar-benar dibutuhkan. Jangan demi gengsi. Jangan demi “kelihatan mapan”.
3. Jangan Kejar Mimpi Orang Lain
Kadang kita membeli rumah bukan karena kita butuh, tapi karena “semua orang sudah punya rumah sendiri”. Kita ikut-ikutan, tanpa benar-benar tahu apakah kita siap atau tidak. Dan saat kita meniru tanpa sadar, kita bisa membayar mahal—bukan hanya dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk ketenangan hidup.
Kalau Mau Berutang, Pikirkan Ini Dulu:
-
Apakah ini kebutuhan atau keinginan?
-
Sudahkah punya dana darurat?
-
Apakah cicilan bisa ditutup tanpa mengorbankan kebutuhan pokok?
-
Apakah ada opsi alternatif yang lebih ringan atau fleksibel?
-
Apakah keputusan ini membuat hidupku lebih tenang, atau justru lebih gelisah?
Hidup Tidak Harus Terlihat Sempurna
0 komentar: