Kadang aku bertanya pada diri sendiri: apakah aku benar-benar punya waktu luang, atau sebenarnya aku hanya pandai menciptakan alasan bahwa waktuku habis untuk hal-hal lain?
Dalam keseharian, kita sering merasa sibuk. Ada rapat, ada pekerjaan kampus, ada praktik, ada riset, ada urusan rumah. Seakan-akan waktu luang itu barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang. Tapi kalau dipikir ulang, mungkin masalahnya bukan pada ada atau tidaknya waktu luang, melainkan pada pilihan meluangkan waktu.
Waktu luang sering kali kita tunggu. Kita menunggu pekerjaan selesai, menunggu tidak ada deadline, menunggu hari lebih tenang. Sayangnya, waktu yang benar-benar “luang” jarang datang. Selalu ada saja pekerjaan baru yang muncul, kebutuhan baru yang mendesak. Akhirnya, waktu luang hanya jadi konsep yang samar.
Sebaliknya, meluangkan waktu adalah tindakan sadar. Kita yang memilih: untuk berhenti sejenak, untuk duduk membaca meski hanya 10 menit, untuk menulis jurnal di tengah malam meski ada pekerjaan yang belum rampung, untuk berdoa di sela-sela kesibukan. Meluangkan waktu berarti menegaskan bahwa ada hal-hal yang tetap penting meski dikejar kesibukan.
Esensinya, waktu luang adalah soal kesempatan, sementara meluangkan waktu adalah soal prioritas. Dan prioritas itulah yang pada akhirnya membentuk siapa kita.
Aku jadi belajar untuk tidak menunggu waktu luang. Kalau aku ingin menulis, aku menulis. Kalau aku ingin berdoa lebih lama, aku sisihkan waktunya. Kalau aku ingin sekadar menatap langit pagi, aku berhenti sejenak meski ada jadwal padat. Di situlah aku merasa lebih damai, karena waktu bukan lagi sesuatu yang “ditinggalkan” oleh kesibukan, tapi sesuatu yang bisa aku kelola sesuai arah hidup yang aku pilih.
Mungkin, pada akhirnya, hidup ini bukan tentang punya banyak waktu, tapi tentang apa yang kita pilih untuk kita luangkan waktu demi itu.
0 komentar: