Kita seringkali terjebak dalam glorifikasi “bangun pagi”. Seolah yang bangun jam 5 itu pasti sukses, sementara yang jam 9 baru buka mata adalah kaum rebahan. Padahal tidak sesederhana itu.
Orang yang aktif di pagi hari (early person) memang tampak produktif karena dunia ini dibentuk oleh sistem pagi: sekolah mulai pagi, kantor buka pagi, bahkan warung sarapan pun laris manis di jam 6. Tapi tidak semua orang hidup paling baik di waktu itu.
Sebagian orang justru menemukan fokusnya di malam hari. Saat suara-suara dunia mereda, otak mereka menyala. Kreativitas keluar deras. Ide-ide berseliweran. Mereka inilah para night owl.
Dan keduanya valid.
Aku Pernah Memaksakan Diri Jadi “Morning Person”
Ada masa di hidupku di mana aku bangun sebelum subuh, langsung buka laptop, ngopi, dan berharap bisa menyelesaikan banyak hal saat orang lain masih tidur. Tapi kadang-kadang, energiku malah cepat habis. Siang harinya, aku justru kelelahan dan sulit fokus.
Di sisi lain, ada masa di mana justru malam hari terasa begitu hidup. Menulis terasa lancar. Ide riset mengalir. Tapi lalu aku merasa bersalah, “Ah, kenapa aku produktifnya malah malam?”
Dari situ aku mulai belajar: bukan tentang “pagi vs malam”, tapi tentang mengenal ritme diri sendiri, dan mencari titik tengah agar tetap sehat, tetap produktif, dan tetap waras.
Yang Penting Bukan Waktunya, Tapi Bagaimana Kita Memakainya
Kita bisa belajar banyak dari tubuh kita sendiri. Kapan kamu merasa paling fokus? Paling kreatif? Paling ringan mengerjakan hal berat?
Itulah waktu yang paling hidup untukmu.
Buatku, pagi tetap penting—karena spiritualitas, karena rutinitas kerja. Tapi malam juga punya ruang untuk ide dan refleksi. Aku bukan sepenuhnya early bird, tapi juga bukan night owl total. Mungkin aku ada di antara keduanya—dan itu tidak masalah.
Yang penting: aku hadir utuh di waktu terbaikku. Bukan waktu orang lain. Bukan jam emas versi media sosial.
Belajar Menghargai Diri dan Orang Lain Lewat Chronotype
Mengetahui chronotype juga membuatku lebih toleran terhadap orang lain. Aku tidak lagi menghakimi teman yang baru bisa kerja jam 10 malam. Aku juga tidak merasa harus ikut ritme semua orang. Karena setiap orang punya “jam hidupnya” sendiri-sendiri.
Dan mungkin… hidup akan lebih seimbang jika kita saling memahami waktu terbaik kita masing-masing.
Karena hidup bukan tentang siapa yang bangun paling pagi, tapi siapa yang paling tahu kapan dia benar-benar hidup.
0 komentar: