Ketika Bullying Menjadi Narasi yang Terlupakan

 Beberapa hari terakhir aku membaca berita tentang kasus tragis di Malaysia, seorang anak yang diduga menjadi korban bullying hingga nyawanya melayang. Berita ini masih simpang siur, namun tetap saja membuat hati terasa perih. Di waktu yang hampir bersamaan, aku juga menemukan banyak kisah lain tentang anak-anak yang depresi karena menjadi korban bully, bahkan ada yang memilih mengakhiri hidupnya. Rasanya terlalu sering kita mendengar kabar seperti ini, seakan-akan bullying sudah menjadi hal yang biasa terjadi.

Aku lalu bertanya-tanya, mengapa bullying itu ada? Mengapa ada anak atau remaja yang merasa berhak menindas orang lain? Dan mengapa, di sisi lain, korban sering kali hanya diam, menerima, atau tidak berdaya melawan? Bukankah setiap orang punya hak yang sama untuk bicara, untuk didengar, untuk dihargai?

Mungkin bullying tumbuh dari ketidakseimbangan. Pelaku merasa lebih kuat atau ingin terlihat berkuasa, sementara korban terjebak dalam rasa takut dan tidak punya ruang aman untuk melawan. Yang lebih menyedihkan, sering kali orang dewasa di sekitarnya tidak menyadari, atau bahkan menganggap remeh.

Aku jadi berpikir, apa yang bisa dilakukan orang tua? Tidak mudah memang, karena anak-anak sering kali pandai menyembunyikan luka mereka. Kadang mereka terlihat baik-baik saja, padahal di dalamnya penuh kecemasan. Gelagat kecil bisa jadi petunjuk: perubahan sikap, menarik diri dari teman, malas sekolah, atau mudah sakit tanpa alasan jelas. Mungkin di sinilah peran orang tua yang paling penting, hadir sebagai tempat aman bagi anak untuk bercerita.

Aku juga percaya, anak-anak perlu diajarkan sejak dini untuk tidak tumbuh menjadi pembully. Caranya sederhana tapi penting: belajar empati, memahami perasaan orang lain, dan tahu bagaimana mengelola emosi. Sama pentingnya dengan mengajarkan keberanian untuk berkata “tidak”, untuk melawan perlakuan tidak adil, dan untuk mencari bantuan.

Kasus-kasus ini selalu menjadi pengingat betapa berharganya ruang aman bagi anak-anak kita. Bukan hanya di rumah, tapi juga di sekolah, di lingkungan bermain, bahkan di dunia digital. Setiap anak berhak merasakan merdeka—merdeka dari rasa takut, merdeka dari tekanan, merdeka untuk menjadi dirinya sendiri.

0 komentar: