featured Slider

Featured Post

Wakil Rakyat seharusnya Merakyat #lagu

 Sibuknya negara ini. Barusan lewat di Thread Ig, kalau mau jadi anggota DPR harus lulus S2, lulus TKD, lulus psikotes. Wah kok setuju ya... Mereka wakil rakyat, ya harus pinter, karena mau membangun bangsa. Kalau perlu ditambah syarat, sudah ada bukti pengaruh dan manfaatnya ke masyarakat. Jangan hanya awardee LPDP saja yang harus membuat esai mengenai kontribusinya untuk negara ini. Yang mereka dapatkan toh cuma biaya sekolah dan biaya hidup.. Ga ada dana aspirasi yang mereka bawa.

Mungkin ini terpicu dari hasil wawancara seorang anggota DPR di TV Nasional, yang tidak mau disamakan dengan rakyatnya. Merasa gajinya harus besar. Dan mengatakan host yang mewancarainya cacat pikiran. Dari data begitu banyak masyarakat yang diwakili oleh WAKIL RAKYAT ini memang hidup di garis kemiskinan, berapa banyak lulusan perguruan tinggi yang hanya mendapatkan gaji 2juta-3juta. Rakyat kecil gaji kecil atau upah kecil inilah yang ikut memilih wakil rakyat terhormat ini. Dengan himbauan pakailah gak konstitusinya, dapatkan wakil rakyat yang bisa menyampaikan aspirasi kalian. Melihat keadaan sekarang, wajarkah mereka marah? 

Apa yang dipertontonkan sekarang, gaji mereka atau tunjangan mereka naik, atau mereka joget, atau sibuk klarifikasi, sibuk dari satu podcast ke podcast lain, sibuk ke TV, untuk menyampaikan ga jadi naik, ga ada yang mereka terima. Lalu ucapan siapa yang harus masyarakat percaya??? 

Kata-kata mereka tidak sejalan dengan perbuatan. Masyarakat makin tercekik. Sampai ada hastag #janganbayarpajak, saking muaknya masyarakat melihat wakil rakyatnya, kluarganya, aparat yang digaji dengan uang pajak sibuk flexing, sibuk menyampaikan ke khalayak media sosial berapa berhasilnya mereka memakai uang, mendapatkan fasilitas pengawalan mulai dari ke salon sampai ke luar negeri dengan alasan menemani anak lomba. Bahkan ada kepala lembaga suatu daerah, mengeluarkan surat tugas dengan kop surat resmi untuk ASN jadi panitia pernikahan anaknya. Tapa surat tugas itu semua, bila terbangun rasa kekeluargaan, ada anak kolega yang menikah, menjadi panitia pun ga masalah, yang penting jangan dipakai uang rakyatnya pak. 

Belum lagi ada anggota DPR karena tidak punya kemampuan publik speaking yang mumpuni justru menambah kemarahan rakyat. Kami tidak apa-apa di demo, lah pas di demo mereka disemprot gas air mata (sepertinya odol laku keras di masa demo ini), pas demo ojol terlindas mobil aparat. Jadi demo yang kami lihat sekarang ojol vs DPR. Yang awalnya bukan hanya mewakili satu profesi saja. Tapi ya sudahlah, semoga bisa selesai masalah ini satu pernsatu. 

Dengan hijaunya atau orangenya atau kuningnya jalanan, dengan seragam para ojol, ini menunjukkan profesi ini banyak digeluti oleh rakyat yang memilih wakil rakyat yang terhormat. Tanggal 28 Agustus sebenarnya juga ada demo para buruh, setiap demo mereka juga rame sekali. Artinya, itulah pekerjaan pekerjaan rakyat yang diwakilkan oleh Bapak Ibu yang duduk di ruang ber AC di gedung DPR. 

Kalaulah syarat di atas disahkan. Kebayangkan calon anggota DPR akan belajar dengan giat di bangku sekolah dan kuliah, kalau sudah lulus dan punya ijazah akan sibuk bimbel sana- sini, Bimbel TKD untuk calon DPR. Bimbel public speaking untuk calon DPR, Bimbel Psikotest untuk calon DPR. Dan banyak bimbel lagi agar mereka belajar sebelum jadi anggota. DPR. Bukan belajar setelah jadi anggota DPR. Bayangkan betapa banyak lapangan kerja yang terbentuk dengan banyaknya bimbel yang terbentuk. Betapa banyak guru-guru bisa side job sebagai pengajar bimbel anggota DPR. Guru-guru honorer juga bisa ikutan karena masih belum diangkat juga sebagai PNS. Woow kan. Gaji mereka yang kecil yang disampaikan menteri keuangan sebagian "beban negara", bisa membantu diri mereka sendiri untuk hidup lebih layak. 

Tapi eh tapi kalau udah ada test test gini.. Bakal ada ada calo ga ya? 🫢


Wacana dan Rencana: Beda tapi Sering Tertukar

 


Wacana: Ide yang Masih Mengambang
Rencana: Wacana yang Berubah Jadi Tindakan
x

Beberapa waktu lalu aku lagi ngobrol sama teman tentang proyek yang mau kami jalani. Saat itu temanku bilang,

“Ah, ini cuma wacana aja sih, belum jadi rencana.”

Aku langsung terhenti sejenak. Sebenarnya, apa sih bedanya wacana dan rencana? Dan kenapa kita sering salah kaprah menggunakannya?

Wacana itu seperti ide-ide yang bertebaran di kepala atau dibicarakan di meja kopi. Ia belum punya bentuk konkret, belum ada langkah yang jelas. Bisa jadi wacana muncul dari obrolan santai, brainstorming, atau bahkan komentar spontan di grup chat.

Contohnya: kamu bilang, “Kayaknya seru kalau kampus kita bikin program literasi digital.” Itu masih wacana. Belum ada yang menulis proposal, belum ada timeline, dan belum ada yang benar-benar mulai mengeksekusi.

Wacana itu penting—karena dari wacana, ide-ide segar bisa muncul. Tapi wacana juga gampang hilang kalau tidak ditindaklanjuti.

Rencana adalah wacana yang sudah “dibekukan” menjadi langkah-langkah konkret. Di sini, ide mulai diberi bentuk: siapa yang mengerjakan, kapan dimulai, dan apa target akhirnya.

Kalau pakai contoh sebelumnya, rencana dari wacana literasi digital bisa jadi:

  1. Membuat tim inti program.

  2. Menyusun proposal kegiatan.

  3. Menentukan jadwal workshop selama 3 bulan.

  4. Menetapkan indikator keberhasilan program.

Rencana itu jelas, terstruktur, dan siap dijalankan. Tanpa rencana, wacana akan tetap terapung-apung, menarik tapi sulit diwujudkan.

Refleksi Pribadi

Aku pernah mengalami fase “cuma wacana” selama berbulan-bulan. Aku punya banyak ide, banyak ngobrol, banyak inspirasi, tapi tidak ada yang benar-benar bergerak. Rasanya seru tapi juga bikin frustasi. Baru ketika aku mulai menulis langkah konkret, membuat timeline kecil, dan menetapkan target harian, wacana itu akhirnya berubah jadi rencana yang bisa dijalankan.

Dari pengalaman itu, aku belajar: wacana itu energi, rencana itu arah. Keduanya penting. Tanpa wacana, rencana kering dan kaku. Tanpa rencana, wacana hanyalah angan-angan.

Jadi, kalau kamu lagi ngobrol sama teman atau membahas proyek, ingatlah:

  • Wacana itu ide yang masih bebas dan mengalir.

  • Rencana itu wacana yang sudah dikunci menjadi langkah nyata.

Kalau bisa mengelola keduanya dengan baik, ide yang awalnya cuma wacana bisa jadi rencana yang berjalan, dan siapa tahu akan membawa perubahan nyata.

Seri Skripsi 6: Skripsi – Antara Beban, Perjalanan, dan Titik Balik

 


Ada satu kata yang bisa bikin mahasiswa langsung resah sekaligus semangat: skripsi.
Bagi sebagian orang, skripsi itu momok. Rasanya berat, menakutkan, penuh tekanan. Tapi bagi sebagian lain, skripsi adalah kesempatan terakhir untuk membuktikan diri sebelum akhirnya melepas toga.

Jujur saja, aku sering melihat skripsi diperlakukan hanya sebagai syarat kelulusan. Sesuatu yang harus cepat-cepat diselesaikan, sekadar formalitas. Padahal, kalau mau jujur, skripsi itu lebih dari sekadar lembaran laporan tebal dengan jilid biru.

Skripsi Sebagai Cermin Diri

Waktu pertama kali mulai mengerjakan skripsi, banyak mahasiswa bingung: harus mulai dari mana? Topiknya apa? Metodenya gimana? Dan biasanya, di situlah muncul drama—galau, bingung, sampai ingin menyerah.

Tapi di balik semua kebingungan itu, ada satu hal yang tak boleh dilupakan: skripsi sebenarnya adalah cermin.

  • Ia mencerminkan cara kita berpikir.

  • Ia menunjukkan sejauh mana kita bisa bertahan dengan proses panjang.

  • Ia menguji seberapa dalam kita bisa konsisten pada satu masalah.

Skripsi bukan soal pintar atau tidak, tapi soal mau atau tidak bertahan di prosesnya.

Antara Bimbingan dan Kesabaran

Ada fase yang paling sering bikin stres: bimbingan dosen. Kadang mahasiswa merasa sudah menulis panjang, tapi dosennya hanya memberi komentar singkat: “Ulangi lagi bagian ini.”

Rasanya sakit, ya. Apalagi kalau sudah lembur semalaman. Tapi dari situlah kita belajar: kesabaran akademik. Bahwa dunia ilmiah tidak mengenal instan. Bahwa kualitas itu lahir dari proses koreksi berulang. Dan bahwa kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menajamkan.

Titik Balik

Percaya atau tidak, banyak mahasiswa yang justru menemukan “dirinya” saat skripsi. Ada yang jadi jatuh cinta pada penelitian. Ada yang menyadari passion-nya di bidang tertentu. Bahkan ada yang skripsinya berlanjut jadi publikasi ilmiah atau karier masa depan.

Skripsi bisa jadi titik balik. Tapi hanya kalau kita mau menjalaninya dengan hati terbuka, bukan sekadar beban yang ingin cepat-cepat dituntaskan.

Pesan untuk Kamu yang Lagi Skripsi

Kalau kamu sekarang sedang skripsi, mungkin rasanya melelahkan. Tapi percayalah, kamu tidak sendirian. Semua orang pernah melewati fase ini, dengan segala drama dan air matanya.

Ingat, skripsi bukan akhir, melainkan latihan awal untuk hal-hal yang lebih besar di hidupmu nanti. Jadi jangan hanya fokus ke hasil akhirnya, tapi nikmati juga prosesnya. Karena di situlah pembentukan dirimu yang sebenarnya sedang terjadi.

CTRL. (Netflix): Sebuah Cermin Tentang Kendali yang Sering Kita Kira Kita Punya

 


Ada satu hal yang sering kita ucapkan tanpa benar-benar memikirkannya: “Hidupku, kendaliku.”
Kalimat itu terdengar meyakinkan, penuh semangat, dan seolah-olah kita benar-benar punya tombol control di tangan kita. Tapi setelah menonton film CTRL. di Netflix, aku jadi berpikir ulang: benarkah kita memang sepenuhnya mengendalikan hidup ini?

Film yang Minimalis, Tapi Mengganggu Pikiran

Sekilas, CTRL. mungkin terlihat sederhana. Setting-nya terbatas, karakternya sedikit, nuansanya gelap. Bahkan judulnya hanya satu kata: CTRL. Tapi justru kesederhanaan itu yang membuat film ini terasa menghantui.

Cerita berpusat pada seorang perempuan yang berusaha menghadapi pergulatan batin, masa lalu, dan hubungannya dengan dunia digital. Dari menit pertama, kita sudah diajak masuk ke dalam ruang yang sempit, intens, dan penuh teka-teki. Ada pertanyaan besar yang terus menggelayuti: apakah tokoh ini benar-benar membuat pilihan, atau dia hanya boneka dari sistem yang lebih besar?

Menontonnya membuatku seperti duduk di depan cermin, menatap wajah sendiri, lalu bertanya:
"Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku, atau aku hanya mengikuti arus yang tak pernah kupahami?"

Kontrol Itu Ilusi?

Di zaman serba digital ini, kata “kontrol” seakan punya makna baru. Kita bisa mengatur playlist musik, memesan makanan lewat aplikasi, bahkan mengubah gaya foto dengan sekali klik filter. Semua terasa berada di bawah kendali kita.

Namun, film ini seakan menampar pelan: kendali macam apa yang sebenarnya kita punya, kalau hampir semua langkah kita sudah diatur oleh notifikasi, algoritma, dan ekspektasi sosial?

  • Kita pikir memilih film sendiri, padahal direkomendasikan algoritma.

  • Kita pikir menulis status dengan bebas, padahal terpengaruh tren.

  • Kita pikir memilih jalan hidup, padahal sering terseret norma, keluarga, atau ketakutan pribadi.

Di titik ini, CTRL. tidak hanya bercerita tentang si tokoh. Film ini sebenarnya juga sedang berbicara tentang kita.

Rasa Tidak Nyaman yang Justru Berharga

Aku akui, menonton CTRL. tidak selalu menyenangkan. Atmosfernya cenderung claustrophobic, menekan, membuat sesak. Mungkin sebagian orang akan menutup layar di tengah jalan karena merasa “nggak nyaman.”

Tapi justru rasa tidak nyaman itulah yang berharga. Karena di situlah refleksi terjadi. Hidup kita jarang membuat kita berhenti sejenak untuk bertanya:

  • Apa yang sebenarnya aku kendalikan?

  • Apa yang sedang mengendalikan aku?

  • Apakah aku berani mengambil kembali kendali, atau lebih nyaman menyerahkannya pada sistem?

Pelajaran yang Aku Bawa Pulang

Bagi aku pribadi, CTRL. adalah film tentang kesadaran. Kesadaran bahwa kendali itu bukan soal mengatur semua hal di luar sana, tapi tentang bagaimana kita menyadari pilihan-pilihan kecil yang benar-benar bisa kita ambil.

Kadang, kendali bukan berarti menggenggam erat semua hal, tapi justru melepaskan hal-hal yang tak bisa kita atur, lalu fokus pada hal-hal yang memang bisa kita pegang.

Setelah film selesai, aku menutup laptop dengan perasaan campur aduk. Ada resah, ada bingung, tapi juga ada rasa syukur. Karena aku diingatkan, bahwa hidup ini bukan soal menguasai segalanya, tapi tentang menyadari di mana letak kendali yang sebenarnya.

Kalau kamu nonton CTRL., mungkin kamu akan punya tafsiran sendiri. Bisa jadi kamu melihatnya sebagai cerita tentang trauma, tentang teknologi, atau tentang manusia yang terjebak dalam sistem.

Tapi pertanyaan yang sama akan tetap muncul:
Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku, atau aku hanya menekan tombol yang sebenarnya sudah diprogram orang lain?

Dan menurutku, kalau sebuah film bisa membuat kita berhenti sejenak, lalu mempertanyakan ulang cara kita menjalani hidup, berarti film itu sudah berhasil.

Hari ke 23: Menyusun Tinjauan Pustaka dengan ATLAS.ti Desktop: Dari Refleksi ke Praktik

 

Ada masa di mana aku merasa tenggelam dalam lautan literatur. File PDF menumpuk di laptop, catatan berceceran di sticky note, sementara pikiranku tak kunjung rapi. Rasanya aku membaca banyak hal, tapi selalu kesulitan saat harus menghubungkan satu artikel dengan artikel lainnya. Hingga akhirnya aku mengenal ATLAS.ti.

Awalnya, aku mengira software ini hanya untuk penelitian kualitatif berbasis wawancara. Tapi setelah mencobanya, aku sadar bahwa ATLAS.ti juga bisa menjadi sahabat penting untuk menyusun tinjauan pustaka. Ia seperti ruang kerja digital, tempat aku bisa merapikan ide, memberi label pada potongan teks, dan menyambungkan literatur ke dalam peta yang utuh. Dengan ATLAS.ti, aku tidak sekadar membaca, tetapi benar-benar berdialog dengan literatur.

Bayangkan kamu sudah mengumpulkan puluhan artikel jurnal dari Mendeley atau Zotero. Biasanya, artikel itu hanya menumpuk dan jadi koleksi file di folder. Namun ketika dimasukkan ke dalam ATLAS.ti, setiap kalimat penting bisa diberi kode, setiap ide bisa ditandai, dan setiap kata kunci bisa divisualisasikan. Bahkan, ada fitur word cloud yang langsung menampilkan kata apa yang paling sering muncul—sebuah pintu awal untuk melihat pola.

Dan beginilah langkah-langkah yang aku jalani:

1. Membuat proyek baru
Aku memulai dengan membuka ATLAS.ti Desktop dan membuat proyek baru. Rasanya seperti membuka buku catatan kosong yang siap diisi. Semua literatur yang kutemukan kumasukkan ke dalam satu wadah bernama Literature Review S3.

2. Mengimpor dokumen
Semua file PDF dari jurnal kutambahkan ke dalam proyek. Dari sinilah aku merasa seperti punya perpustakaan pribadi yang lebih hidup, karena setiap dokumen bisa langsung dibaca dan dianalisis.

3. Coding kutipan penting
Setiap kali ada kalimat yang relevan, aku sorot lalu kuberi kode. Misalnya, “learning analytics”, “assessment”, atau “technology-enhanced learning”. Kode ini membantu agar ide-ide itu tidak hilang begitu saja.

4. Word Cloud dan Auto Coding
Aku mencoba fitur Word Cloud. Menarik, karena kata-kata dominan langsung muncul dalam bentuk visual. Setelah itu, aku menggunakan auto coding—cukup memasukkan kata kunci, ATLAS.ti otomatis menandai semua kemunculannya di seluruh dokumen. Waktu yang biasanya habis untuk membaca ulang, bisa dihemat.

5. Mengelompokkan kode
Kumpulan kode itu kemudian kususun dalam families atau kubuat dalam network. Hasilnya berupa peta konsep visual—mirip mind map tapi lebih sistematis. Saat melihatnya, aku merasa lebih paham arah kajian.

6. Membuat memo reflektif
Setiap kali menemukan hal penting, aku menulis memo. Isinya bisa berupa catatan pribadi: “temuan ini mirip dengan penelitian A, tapi konteksnya berbeda”. Memo ini ternyata sangat membantu untuk bahan discussion nantinya.

7. Menggunakan AI Tools
Di versi terbaru, ATLAS.ti punya fitur AI. Aku mencoba minta ringkasan artikel, dan lumayan memberi gambaran cepat sebelum membaca penuh. Meski tetap perlu diverifikasi, fitur ini cukup menghemat energi.

8. Mengekspor hasil analisis
Akhirnya, semua kode, memo, dan network bisa diekspor menjadi laporan. Inilah yang nanti bisa menjadi kerangka awal untuk menulis tinjauan pustaka dalam disertasiku.

Refleksi

Bagi aku, ATLAS.ti bukan sekadar software. Ia seperti sahabat sunyi yang membantu merapikan pikiran dan mengubah kekacauan literatur menjadi sesuatu yang lebih jelas. Setiap kode yang kubuat, setiap memo yang kutulis, terasa seperti batu bata yang menyusun fondasi disertasiku nanti.

Proses ini tidak instan. Aku tetap harus membaca, merenung, dan menulis. Tapi dengan ATLAS.ti, aku merasa punya alat yang mendampingi langkahku. Aku belajar bahwa riset bukan hanya tentang menemukan jawaban, melainkan juga tentang bagaimana aku berproses memahami.

Dan itu, buatku, sama berharganya dengan hasil akhir.

Seri Skripsi 5 – Manajemen Waktu: Skripsi Bukan Lomba Lari Sprint

 

Aku masih ingat betul, salah satu kesalahan terbesarku waktu awal ngerjain skripsi adalah merasa “masih banyak waktu.” Awalnya aku santai, main ke sana-sini, ngopi di kantin sambil bilang ke teman, “Nanti aja, toh deadline masih lama.”

Tapi waktu itu ternyata jalan lebih cepat dari yang kukira. Tiba-tiba sudah harus seminar proposal, bab 3 belum selesai, data belum terkumpul, dan aku baru sadar: panik adalah teman akrab mahasiswa skripsi yang menunda-nunda.

Skripsi Itu Maraton, Bukan Sprint

Sering kali kita terjebak dengan pola pikir “kerja keras mendekati deadline.” Padahal, skripsi itu mirip lari maraton. Kalau langsung digeber di awal atau malah santai banget lalu gaspol di akhir, hasilnya sama-sama buruk: capek, ngos-ngosan, bahkan bisa tumbang di tengah jalan.

Yang dibutuhkan adalah ritme. Langkah kecil tapi konsisten jauh lebih berarti daripada usaha besar yang hanya muncul menjelang akhir.

Belajar Membagi Waktu

Dulu aku pikir manajemen waktu itu ribet. Tapi ternyata sesederhana ini:

  1. Bikin timeline kasar. Misalnya, bulan pertama selesai Bab 1, bulan kedua Bab 2, dan seterusnya. Nggak usah muluk-muluk, cukup realistis sesuai kemampuanmu.

  2. Pecah target besar jadi target kecil. Contoh: jangan langsung menulis “Bab 1 selesai minggu ini.” Tapi pecah: hari ini tulis latar belakang 2 halaman, besok tambahkan kerangka masalah, dan seterusnya.

  3. Sediakan waktu istirahat. Jangan lupa, otakmu bukan mesin. Kadang jeda sejenak justru bikin ide lebih segar.

Refleksi Pribadi

Aku pernah mengalami fase begadang demi mengejar deadline revisi. Saat itu aku merasa “hebat” karena bisa menulis 10 halaman dalam semalam. Tapi setelahnya? Badan drop, pikiran kacau, dan hasil tulisan justru berantakan.

Dari situ aku belajar bahwa skripsi bukan tentang siapa yang paling cepat selesai, melainkan siapa yang bisa menjaga keseimbangan: antara nulis, istirahat, kuliah lain, bahkan kehidupan pribadi.

Skripsi itu memang penting, tapi hidupmu lebih penting lagi.

Kalau sekarang kamu merasa skripsi itu berat, coba lihat kembali cara kamu mengatur waktumu. Jangan menunggu sampai deadline menjerat leher baru panik setengah mati. Mulailah dengan langkah kecil, konsisten, dan nikmati prosesnya.

Karena pada akhirnya, skripsi bukan sekadar lomba lari sprint menuju garis finish. Ia adalah perjalanan maraton yang mengajarkan kita disiplin, sabar, dan tahu kapan harus berlari—dan kapan harus berhenti sejenak untuk bernapas.

Dan percayalah, ritme yang tepat akan membawamu sampai ke garis akhir dengan lebih tenang, tanpa harus ngos-ngosan di ujung jalan.