CTRL. (Netflix): Sebuah Cermin Tentang Kendali yang Sering Kita Kira Kita Punya

 


Ada satu hal yang sering kita ucapkan tanpa benar-benar memikirkannya: “Hidupku, kendaliku.”
Kalimat itu terdengar meyakinkan, penuh semangat, dan seolah-olah kita benar-benar punya tombol control di tangan kita. Tapi setelah menonton film CTRL. di Netflix, aku jadi berpikir ulang: benarkah kita memang sepenuhnya mengendalikan hidup ini?

Film yang Minimalis, Tapi Mengganggu Pikiran

Sekilas, CTRL. mungkin terlihat sederhana. Setting-nya terbatas, karakternya sedikit, nuansanya gelap. Bahkan judulnya hanya satu kata: CTRL. Tapi justru kesederhanaan itu yang membuat film ini terasa menghantui.

Cerita berpusat pada seorang perempuan yang berusaha menghadapi pergulatan batin, masa lalu, dan hubungannya dengan dunia digital. Dari menit pertama, kita sudah diajak masuk ke dalam ruang yang sempit, intens, dan penuh teka-teki. Ada pertanyaan besar yang terus menggelayuti: apakah tokoh ini benar-benar membuat pilihan, atau dia hanya boneka dari sistem yang lebih besar?

Menontonnya membuatku seperti duduk di depan cermin, menatap wajah sendiri, lalu bertanya:
"Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku, atau aku hanya mengikuti arus yang tak pernah kupahami?"

Kontrol Itu Ilusi?

Di zaman serba digital ini, kata “kontrol” seakan punya makna baru. Kita bisa mengatur playlist musik, memesan makanan lewat aplikasi, bahkan mengubah gaya foto dengan sekali klik filter. Semua terasa berada di bawah kendali kita.

Namun, film ini seakan menampar pelan: kendali macam apa yang sebenarnya kita punya, kalau hampir semua langkah kita sudah diatur oleh notifikasi, algoritma, dan ekspektasi sosial?

  • Kita pikir memilih film sendiri, padahal direkomendasikan algoritma.

  • Kita pikir menulis status dengan bebas, padahal terpengaruh tren.

  • Kita pikir memilih jalan hidup, padahal sering terseret norma, keluarga, atau ketakutan pribadi.

Di titik ini, CTRL. tidak hanya bercerita tentang si tokoh. Film ini sebenarnya juga sedang berbicara tentang kita.

Rasa Tidak Nyaman yang Justru Berharga

Aku akui, menonton CTRL. tidak selalu menyenangkan. Atmosfernya cenderung claustrophobic, menekan, membuat sesak. Mungkin sebagian orang akan menutup layar di tengah jalan karena merasa “nggak nyaman.”

Tapi justru rasa tidak nyaman itulah yang berharga. Karena di situlah refleksi terjadi. Hidup kita jarang membuat kita berhenti sejenak untuk bertanya:

  • Apa yang sebenarnya aku kendalikan?

  • Apa yang sedang mengendalikan aku?

  • Apakah aku berani mengambil kembali kendali, atau lebih nyaman menyerahkannya pada sistem?

Pelajaran yang Aku Bawa Pulang

Bagi aku pribadi, CTRL. adalah film tentang kesadaran. Kesadaran bahwa kendali itu bukan soal mengatur semua hal di luar sana, tapi tentang bagaimana kita menyadari pilihan-pilihan kecil yang benar-benar bisa kita ambil.

Kadang, kendali bukan berarti menggenggam erat semua hal, tapi justru melepaskan hal-hal yang tak bisa kita atur, lalu fokus pada hal-hal yang memang bisa kita pegang.

Setelah film selesai, aku menutup laptop dengan perasaan campur aduk. Ada resah, ada bingung, tapi juga ada rasa syukur. Karena aku diingatkan, bahwa hidup ini bukan soal menguasai segalanya, tapi tentang menyadari di mana letak kendali yang sebenarnya.

Kalau kamu nonton CTRL., mungkin kamu akan punya tafsiran sendiri. Bisa jadi kamu melihatnya sebagai cerita tentang trauma, tentang teknologi, atau tentang manusia yang terjebak dalam sistem.

Tapi pertanyaan yang sama akan tetap muncul:
Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku, atau aku hanya menekan tombol yang sebenarnya sudah diprogram orang lain?

Dan menurutku, kalau sebuah film bisa membuat kita berhenti sejenak, lalu mempertanyakan ulang cara kita menjalani hidup, berarti film itu sudah berhasil.

0 komentar: