Seri Skripsi 3 – Strategi Nyari Referensi Tanpa Tersesat di Dunia Google Scholar

 


Ada masa di mana aku pernah duduk lama di depan laptop, membuka Google Scholar, dan mengetik kata kunci: “pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental mahasiswa.” Sekejap, ratusan, bahkan ribuan artikel muncul. Judulnya keren-keren, ada yang panjang banget, ada juga yang terlihat “wah” karena ditulis peneliti luar negeri.

Tapi jujur saja, saat itu aku justru lebih bingung. Dari sekian banyak artikel, mana yang benar-benar bisa kupakai, dan mana yang cuma akan membuat daftar download PDF-ku penuh dengan file yang tidak akan pernah kubaca?

Di awal, aku kira mencari referensi itu sesimpel “yang penting ada bacaan.” Aku sempat asal comot dari Google, bahkan pernah sekali menjadikan blog pribadi orang sebagai rujukan. Baru setelah ditegur dosen pembimbing, aku sadar: referensi itu bukan sekadar formalitas. Ia adalah fondasi. Kalau salah pilih, skripsi kita bisa rapuh sejak awal.

Akhirnya aku belajar pelan-pelan: bagaimana cara mengetik kata kunci yang lebih spesifik, bagaimana menggunakan filter tahun publikasi supaya tidak ketinggalan zaman, bagaimana melihat artikel mana yang sering disitasi orang lain. Rasanya mirip seperti belajar membaca peta di hutan: makin sering tersesat, makin terampil juga menemukan jalan.

Salah satu hal yang bikin refleksi ini kuat adalah kesadaranku bahwa tidak semua tulisan di internet bisa dijadikan referensi. Ada artikel yang terlihat meyakinkan, padahal hanya opini tanpa data. Ada pula yang seolah-olah ilmiah, tapi tidak jelas diterbitkan di mana.

Dari pengalaman itu, aku belajar membedakan:

  • Sumber yang ilmiah: artikel jurnal dengan peer review, buku akademik, laporan lembaga resmi.

  • Sumber yang abal-abal: blog pribadi, artikel clickbait, atau tulisan viral tanpa data.

Sejak saat itu, setiap kali menemukan artikel, aku selalu bertanya dalam hati: “Apakah penulis ini ahli di bidangnya? Apakah ada data atau bukti yang bisa dipercaya?” Kalau jawabannya ragu-ragu, biasanya kutinggalkan.

Sekarang, setiap kali aku membuka Google Scholar, aku tidak lagi sekadar mencari bahan untuk memenuhi daftar pustaka. Aku mencari teman perjalanan yang akan menemaniku sepanjang penulisan skripsi. Referensi bukan lagi sekadar nama penulis dan tahun di dalam kurung, tapi sebuah pijakan yang membuatku merasa lebih percaya diri: “Aku tidak sendirian. Ada banyak penelitian yang sudah mendukung langkahku.”

Dan mungkin itu yang membedakan mahasiswa yang asal comot dengan mereka yang benar-benar menikmati proses riset. Kita belajar untuk lebih kritis, lebih sabar, dan lebih selektif.

Menulis skripsi bukan hanya soal menghasilkan bab demi bab, tapi juga soal bagaimana kita membangun fondasi yang kokoh lewat literatur. Google Scholar bisa jadi hutan rimba yang menyesatkan, atau justru taman ilmu yang menuntun kita pulang—tergantung bagaimana kita memandang dan memanfaatkannya.

Kalau aku boleh memberi pesan ke diriku sendiri di awal perjalanan skripsi dulu: “Jangan terburu-buru. Pilih bacaanmu dengan hati-hati. Karena di balik setiap referensi yang terpercaya, ada rasa tenang bahwa langkahmu menuju skripsi makin mantap.”

0 komentar: